Mohon tunggu...
Matthew Hanzel
Matthew Hanzel Mohon Tunggu... mahasiswa -

Pemerhati isu-isu politik, hubungan internasional, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Betapa Mengerikannya Sebuah Undang-undang

11 Juli 2014   04:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:42 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semalam sebelum pemilihan umum presiden-wakil presiden pada Rabu (9/7), sebuah hal yang cukup mencengangkan terjadi dari gedung parlemen kita. Dewan Perwakilan Rakyat secara mayoritas menyepakati berbagai perubahan dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) dan mengesahkannya, meskipun diwarnai oleh walkout-nya beberapa fraksi, di antaranya Fraksi Demokrasi Indonesia-Perjuangan (FDI-P), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi Hanura.

Benar saja, usai disahkan oleh fraksi-fraksi yang masih ada di Ruang Paripurna, undang-undang ini justru memicu berbagai keributan di ranah politik. Salah satu titik konflik utama yang terdapat dalam undang-undang ini adalah bahwa ketua DPR untuk periode mendatang (2014-2019) tidak lagi secara otomatis berasal dari fraksi yang memegang kursi terbanyak di DPR (yaitu FDI-P), melainkan akan dipilih secara terbuka.

Meski demikian, dalam situasi yang 'sensitif' belakangan ini, khususnya berkenaan dengan pemilihan umum, pengesahan revisi terhadap UU MD3 ini justru jadi mengerikan, dan menunjukkan betapa jahatnya politik Indonesia pada saat ini. Tidak mengherankan jika lembaga parlemen "yang terhormat" ini terus-menerus dicaci dan kehilangan kepercayaan dari rakyat Indonesia.

Apa sampai di situ saja? Tidak. Rupanya, pengesahan revisi ini dijadikan manuver politik terselubung yang kemudian diakui besar-besaran oleh partai-partai yang ada di dalam badan parlemen. Simpulan yang bisa kita ambil dari fenomena ini menunjukkan betapa menjijikannya arah politik kita kemudian.

Coba-coba anti-mainstream


Pertama-tama, kita lihat dahulu secara singkat mengenai masalah pimpinan DPR ini. Untuk DPR periode ini (2009-2014), pimpinannya (setidaknya keterwakilannya) diambil menurut jumlah kursi di DPR. Karena Partai Demokrat memenangkan pemilu legislatif 2009, maka wakil dari Fraksi Demokrat kemudian duduk sebagai ketua DPR. Selebihnya, empat wakil ketua DPR, diambil berturut-turut dari fraksi-fraksi yang jumlah kursinya menduduki nomor-nomor berikutnya: Fraksi Golkar, Fraksi Demokrasi Indonesia-Perjuangan, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Keadilan Sejahtera.

Dengan disahkannya revisi pada UU MD3 ini, maka pimpinan-pimpinan ini akan dipilih melalui mekanisme pemilihan, tidak lagi otomatis menjadi lambang keterwakilan fraksi dengan suara terbanyak. Sebagaimana dikutip dari situs resmi DPR:

"DengandisetujuinyarevisiRUUMD3ini, makaKetuaDPRnantinyaakandipilih, tidaklagimenjadihakotomatisbagipartaipemenangpemilu. SelainjabatanKetuaDPR,jugaPimpinanalat-alatkelengkapanDewan yang lain sepertiKomisidanBadan-badanjugaakanakandipilih."


Jika dilihat sekilas, memang hal ini nampak demokratis, dengan demikian tidak lagi memaksakan si pemegang suara terbanyak untuk menjadi bos dari lembaga wakil rakyat ini. Tentu saja saya suka mendengar aspek demokratis ini.

Sampai kemudian, datanglah sebuah fakta yang menarik: kebiasaan pada umumnya dalam sistem parlementer adalah bahwa partai pemegang suara terbanyak akan duduk sebagai ketua parlemen. Lebih parahnya, lebih sulit bagi para pendukung asas ini untuk mengatakan bahwa dengan koalisi mereka yang jumlahnya lebih besar maka sepantasnya blok mereka duduk sebagai pimpinan, karena satu hal: sistem pemerintahan Indonesia bukanlah sistem parlementer, sehingga sistem koalisi baku (rigid) tidak ada.

Secara filosofis, posisi ketua DPR (speaker of the house) tidak lebih dari seorang primus inter pares (yang pertama di antara yang setara), sehingga fungsinya simbolik, melambangkan bahwa mereka punya sesuatu yang lebih, meskipun sebetulnya mereka semua ada dalam strata yang sama (sama-sama anggota DPR, dalam hal ini). Ya, posisi ketua DPR seharusnya tidak lebih dari status, jabatan prosedural yang fungsinya tidak lebih dari untuk memoderasi dan memimpin sidang, tanpa kekuatan apapun untuk memutuskan atau menjatuhkan hukuman.

Praktik di kebanyakan negara—kalau bukan semuanya—memang mensyaratkan bahwa ketua DPR ini dipilih dari partai dengan jumlah kursi terbanyak di lembaga yang dimaksud. Kita lihat beberapa contoh:


  • Amerika Serikat: John Boehner, Partai Republik (53.8% kursi DPR)
  • Persatuan Kerajaan: John Bercow, mantan anggota Partai Konservatif (46.7% kursi Majelis Rendah)
  • Republik Korea: Kang Chang-hee, Saenuri/NFP (52% kursi DPR)
  • Federasi Rusia: Sergey Naryshkin, Partai Rusia Bersatu (52.8% kursi Duma)
  • Australia: Bronwyn Bishop, Partai Liberal (38.67% kursi DPR)
  • Perancis: Claude Bartolone, Partai Sosialis (48% kursi Majelis Nasional)
  • Jerman: Norbert Lammert, Partai Kristen Demokratik (50.6% kursi Majelis Negara)
  • India: Sumitra Mahajan, BJP (51.4% kursi Lok Sabha)
  • Jepang: Bunmei Ibuki, Partai Liberal Demokratik (50.7% kursi DPR)
  • Filipina: Feliciano Belmonte, Jr., Partai Liberal (38.1% kursi DPR)


Dan contohnya masih terus berlanjut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun