Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

“Prenjak”, Penjual Kelamin yang Difasilitasi Negara

28 Mei 2016   08:11 Diperbarui: 23 Desember 2016   18:43 5635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah bertahun-tahun mengikuti berbagai festival di luar negeri, menghabiskan bermilyar-milyar rupiah uang negara, nama Indonesia akhirnya muncul juga dalam festival film internasional bergengsi. Adalah “Prenjak” sutradara Wregas Bhanuteja, yang berhasil “mengibarkan” merah putih di Festival Film Cannes, Perancis, setelah mendapat penghargaan film pendek terbaik di La Semaine de la Critique Festival de Cannes 2016.

Sebagai warganegara Indonesia,  ada perasaan campur aduk menyambut kemenangan itu. Ada rasa gembira sekaligus sedih. Gembira karena, akhirnya Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam perfilman, dan selama ini tidak pernah diperhitungkan dunia, bahkan di dalam negeri sendiri kerap di anggap sebagai warga kelas dua, bisa juga meraih prestasi membanggakan di festival film internasional bergengsi, walau hanya melalui sebuah film pendek.

Namun di balik itu terselip juga perasaan sedih, karena “Prenjak” menggambarkan sisi kelabu Indonesia, yakni fenomena “intip kelamin” ke dalam film. Ya kelamin, organ vital manusia, baik lelaki maupun wanita. 

Dalam “Prenjak” digambarkan bagaimana seorang wanita yang kesulitan ekonomi terpaksa harus mengumbar kelaminnya untuk dilihat orang lain dengan imbalan uang. 

Prakteknya, sang wanita  itu akan memperlihatkan alat kelaminnya kepada temannya yang bersedia membayar. Agar bisa lebih jelas, yang melihat menyalakan korek api. Berikutnya sang lelaki yang melihat kelamin wanita ingin juga memperlihatkan kelaminnya kepada sang wanita.

Apa yang digambarkan Wregas dalam “Prenjak” bukanlah ide murni yang keluar dari pikirannya. Seperti dikatakan ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmodjo, film itu mengangkat realitas dalam masyarakat. 

Ya, melihat kelamin dengan menyalakan korek api memang sebuah fenomena, di Yogyakarta. Tetapi bukan dilakukan oleh pekerja rumah makan pada umumnya, melainkan oleh pelacur-pelacur kelas bawah di pinggir rel dekat stasiun Tugu, Yogyakarta.

Ketika membuat film documenter tentang HIV / AIDS di Yogyakarta, dua tahun lalu, penulis diajak oleh seorang dokter terkenal di Yogyakarta, untuk memasuki kawasan pinggiran rel di utara Stasiun Tugu. Di sana ada tempat yang disebut Bong Suwung, di bawah tanki air yang dulu digunakan untuk mengisi air kereta uap. 

Dinamakan Bong Suwung karena di situ dulu terdapat kuburan Cina (bong artinya kuburan - Cina). Kawasan Bong Suwung masuk ke wilayah Jlagran, Gedongtengen.  Di sekitar situlah, konon,  praktek intip kelamin berlangsung. Karena berlangsung malam hari, maka para pengintip harus menggunakan korek api.  Batang korek api harus dibeli kepada si pemilik kelamin (wanita tentunya).

Setiap batang korek api memiliki tarif tertentu. Setelah membeli, batang korek api dinyalakan, dan pemilik kelamin akan melebarkan kedua kakinya sambil duduk, agar pembeli korek api bisa mendekatkan korek api yang menyala untuk melihat bagian vital wanita penjual korek api itu. 

Bila satu batang korek api tidak cukup, bisa membeli lagi batang korek berikutnya. Yang menyedihkan, pembeli batang korek api kebanyakan lelaki-lelaki ABG. Entah, apakah praktek itu masih berlangsung sampai saat ini, yang jelas kawasan Bong Suwung masih tetap ramai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun