Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mendikbud Salah Panggung?

11 Februari 2017   09:13 Diperbarui: 13 Februari 2017   12:37 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendi saat memberi penghargaan kepada produser film dengan jumlah penonton lebih dari 1 juta di gedung Kemendikbud, Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2017). (KOMPAS.com/Dian Reinis Kumampung)

Entah siapa yang punya ide sehingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia memberi penghargaan kepada film-film rilisan 2016 yang berhasil mencapai lebih dari 1 juta penonton. Penghargaan diberikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Jum’at (10/2).

Kepada para produser film, Muhadjir mengatakan bahwa penghargaan tersebut merupakan bentuk terima kasih pemerintah atas usaha keras para produser dalam menghasilkan karya. Ada sepuluh film yang mendapat apresiasi ini, yakni Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, Ada Apa Dengan Cinta 2, My Stupid Boss, Rudy Habibie, Koala Kumal, Comic 8: Casino Kings Part 2, ILY from 38.000 Ft, Hangout, London Love Story, dan Cek Toko Sebelah.

Tentu tidak ada salahnya jika Kemedikbud memberikan penghargaan untuk film karena menurut UU No.33 tahun 2009, perfilman memang berada di bawah Kemendikbud. Sebagai bapak, sangat pantas kalau memiliki perhatian kepada anaknya. Hanya pertanyaannya, mengapa Kemendikbud memberi penghargaan untuk film yang lebih menekankan aspek komersial? Dan film-film seperti ini rasanya sangat jauh dari ranah yang patut mendapat perhatian dari Kemendikbud.

Keputusan Kemendikbud untuk memberikan penghargaan pada film-film yang memang dibuat untuk tujuan komersial, jelas mencederai semangat untuk menjadikan film sebagai karya seni budaya yang memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin, untuk memperkuat ketahanan nasional, sebagaimana definisi film dalam Undang-undang No.33 tahun 2009 tentang Perfilman.

Lalu beberapa dari kesepuluh film yang diberi penghargaan oleh Kemendikbud itu, dari judul-judulnya saja sudah tidak berpihak pada keindonesiaan, karena menggunakah bahasa Inggris. Lalu bagaimana dengan isinya? Apakah Kemendikbud sudah menelaah isinya dengan baik sehingga perlu diberi penghargaan? Lalu mengapa pemberian penghargaan oleh Kemendikbud didasari atas aspek komersial semata?

Masih dalam definisi film menurut UU No.33 Tahun 2009 bagian c: bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia. Nah, bila melihat point c itu, isi-isi film yang diberi penghargaan oleh Kemendikbud – tidak semuanya – apakah sudah sesuai dengan jati diri bangsa kalau, katakanlah tidak memberikan pengaruh negatif terhadap ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia.

Seharusnya, sebelum memberi penghargaan, Kemendikbud mengkaji benar film-film seperti apa yang patut diberi penghargaan, lihat isinya apakah sudah sesuai dengan jati diri bangsa; apakah film itu bisa mendorong ke arah budi pekerti yang luhur, memberi kebanggaan kepada anak-anak muda untuk mencintai negerinya, budaya bangsanya, bahasa ibunya, dan berbagai hal yang terkait dengan budaya bangsa.

Kalau pertimbangan Kemendikbud memberikan penghargaan karena film itu sukses di pasaran hingga meraih 1 juta penonton atau lebih, arah pembinaan perfilman yang diemban oleh Kemendikbud jadi berubah. Kemendikbud tidak bisa membedakan mana produk yang dibuat dengan tujuan komersial – tidak mengutamakan muatan budaya – dan mana film yang dibuat dengan tujuan mengangkat budaya bangsa.

Bukankah film-film yang dibuat dengan tujuan komersial, demi kepentingan ekonomi menjadi ranahnya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf)?Dengan memberi penghargaan kepada film komersial, Kemendikbud sudah salah arah dan Menteri naik ke panggung yang salah. Padahal, di Kemendikbud ada Pusat Pengambangan Perfilman (Pusbang) yang seharusnya bisa mengkaji lebih dalam, mana film-film yang perlu mendapat apresiasi Kemendikbud, dan mana film yang hanya dinilai sebagai produk komersial semata.

Yang kasihan tentu menterinya. Dia diberikan panggung yang salah. Apakah Pak Menteri sudah menonton kesepuluh film yang diberikan penghargaan itu? Atau jangan-jangan cuma mendapat masukan lisan dari bawahannya yang suka ABS. Apa bedanya Kemendikbud dengan jaringan bioskop Twenty One yang juga telah memberikan penghargaan untuk film yang mendapat 1 juta penonton?

Dengan memberikan penghargaan kepada sepuluh film yang meraih 1 juta penonton, Kemendikbud ingin mengesankan bahwa pembinaan perfilman di bawah Kemendikbud berhasil. Minat penonton kepada film nasional meningkat sejak perfilman berada di bawah Kemendikbud. Itu tidak ada hubungannya sama sekali. Sukses tidaknya sebuah film di pasaran tidak ada hubungannya dengan peran Kemendikbud. Semua itu karena jerih payah produser yang mengeluarkan uang untuk membeli cerita, merekrut tenaga-tenaga yang dinilai cakap untuk membuat film komersial dan kemampuan membuat strategi promosi yang baik. Tentunya tidak boleh dianggap remeh: dukungan bioskop!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun