Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku!

4 Desember 2014   06:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:05 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14176557091539869099

[caption id="attachment_380484" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Warga Perbatasan di Nunukan Masih bergantung kepada negara Malaysia dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. (KOMPAS.com/SUKOCO)"][/caption]

Pemerintahan Jokowi akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi. Menyusul kenaikan itu berbagai demo penolakan dilakukan oleh mahasiswa dan buruh di beberapa kota. Rakyat pada umumnya yang juga ikut merasakan dampak kenaikan itu justru lebih bisa menerima. Tidak ada protes atau pun demo penolakan yang dilakukan oleh masyarakat biasa.

Bagi masyarakat di perbatasan atau di pedalaman, tingginya harga BBM sudah dirasakan jauh sebelum harga BBM berulang kali naik. Saat ini saja, ketika harga di Jawa masih berkisar Rp 6.500 di SPBU, dan Rp 7.000 di eceran, di Kalimantan rata-rata harganya dua kali lipat, dan di Papua bisa mencapai Rp 20.000. Meski pun harga sangat tinggi untuk ukuran kantong masyarakat di Jawa, tidak terdengar protes dari masyarakat di daerah, seolah-olah harga itu adalah suatu kewajaran yang harus diterima.

Mahalnya harga BBM membuat masyarakat sulit menjalankan aktivitasnya. Meskipun masyarakat tidak pernah menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua,karena tidak ada jalan darat yang menghubungkan ibu kota kabupaten atau kecamatan dengan daerah perbatasan. Tetapi kebutuhan BBM jenis solar atau bensin tetap tinggi untuk menggerakkan mesin-mesin perahu. Masyarakat di pedalaman umumnya menggunakan lalu lintas air untuk bepergian. Sungai-sungai di Kalimantan yang dekat ke hulu umumnya berarus deras sehingga hanya perahu bermotor yang bisa melaluinya.

“Masyarakat kami ini memang susah, transportasi sangat mahal. Padahal daerah kami ini dengan perbatasan Malaysia bersinggungan sejauh 180 kilometer,” kata Daud, Camat Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Karena harga BBM yang mahal, masyarakat pedalaman yang tidak mampu, mengalami kesulitan untuk bepergian, karena memerlukan biaya yang tidak sedikit. Penderitaan masyarakat makin berat ketika ada anggota masyarakat yang sakit, dan tidak bisa diobati di dekat tinggalnya. Karena fasilitas layanan kesehatan yang ada di desa-desa di dekat perbatasan hanyalah setingkat puskesmas pembantu, yang memiliki perawat atau obat-obatan terbatas.

Hanya orang-orang yang mampu saja yang bisa pergi berobat. Bagi yang tidak mampu biasanya pergi ke puskesmas pembantu yang ada di dekat desa mereka, tetapi itu pun sering kali obat tidak ada. Dan puskesmas hanya memiliki satu orang perawat yang harus menangani penyakit apa saja, mulai dari penyakit yang diderita anak-anak balita hingga orang dewasa; penyakit luar atau penyakit dalam.

“Biasanya kalau ada yang sakit, masyarakat kami pergi ke Mansalong (ibu kota Kecamatan Lumbis). Kalau naik ketinting biayanya sekali jalan dua ratus lima puluh ribu, PP lima ratus ribu. Kalau ke Malinau biayanya lebih besar lagi,” kata Bagadu, Kepala Desa Semuncing, Kelompok Desa Binter, Kecamatan Lumbis ketika ditemui penulis, pertengahan Mei 2014 lalu.

Karena mahalnya biaya perjalanan, banyak anggota masyarakat yang tidak bisa pergi ke tempat layanan kesehatan yang memadai seperti di Mansalong, Malinau, atau Tarakan. Akibatnya penyakit mereka makin parah. Lalu bagaimana jika sakitnya sudah gawat tetapi masyarakat tidak mampu untuk dibawa ke rumah sakit di Malinau atau Kota Nunukan? “Yah, tinggal tunggu panggilan Tuhan saja,” ujar Bagadu.

Pemerintah memang mendirikan puskesmas dan puskesmas pembantu di desa-desa di pedalaman. Tetapi keterbatasan obat dan tenaga kesehatan membuat pelayanan kesehatan tidak maksimal. Para perawat umumnya gadis-gadis muda yang disekolahkan oleh Pemkab Nunukan di sekolah kesehatan di Banjarmasin, dan setelah lulus ditempatkan di puskesmas-puskesmas atau pustu tersebut.

Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik, kadang dikirim dokter-dokter dan perawat untuk mengunjungi desa-desa di pedalaman, tetapi itu pun hanya sebulan sekali, kadang sampai tiga bulan sekali. “Kita maklum saja, karena harga BBM mahal. Kalaupun mereka Puskesmas apung (perahu) itu datang, paling yang dibawa obat-obatan untuk sakit kepala atau mencret saja. Sedangkan penyakit mereka yang sudah berat tidak bisa diobati. Malah semakin parah,” kata Daud.

Bukan cuma masalah kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pun masyarakat di perbatasan sulit. Masyarakat di Kecamatan Lumbis yang terletak di hulu sungai dekat perbatasan dengan Malaysia umumnya dari Suku Dayak Agabag. Makan pokok mereka adalah kanci(sagu) dari pohon ketela. Pohon ketela yang ditanam biasanya yang berasa pahit dan mengandung kadar sianida tinggi, sehingga tidak disukai oleh monyet.

Pohon ketela memang bisa ditanam di tebing-tebing pinggir sungai atau di ladang mereka, dan ikan atau hewan bisa diperoleh dari sungai dan hutan-hutan, tetapi untuk memenuhi kebutuhan lain, mereka juga harus mencari uang. “Kami di sini biasanya mencari kayu gaharu untuk dijual,” kata Bepi, lelaki suku Agabag dari Sumentobol.

Kayu gaharu biasanya diperoleh dengan melakukan penebangan liar di hutan-hutan. Tidak jarang mereka harus masuk ke hutan yang berada di wilayah Malaysia, walau risikonya harus bertemu dengan petugas keamanan di Malaysia. Tetapi bagi masyarakat Dayak Agabag, masuk ke hutan Malaysia lalu kembali lagi ke kampungnya sudah biasa. Mereka pintar main kucing-kucingan dengan aparat di Malaysia. “Karena seringnya mencari makan di wilayah Malaysia, masyarakat kami yang di perbatasan ini punya semboyan, Garuda di dadaku, Malaysia di Perutku,” kata Camat Lumbis, Daud.

Pihak Malaysia juga bukan tidak memanfaatkan wilayah Indonesia. Ketika penulis datang ke Desa Sumentobol, Kecamatan Lumbis, di sana terdapat bangkai-bangkai truk dan ekskavator. Keberadaan bangkai alat-alat berat itu sangat aneh, karena tidak ada jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan. Menurut anggota petugas Puskesmas Mansalong kepada penulis, bangkai kendaraan itu merupakan kendaraan berat milik pengusaha Malaysia yang disita oleh penduduk, karena melakukan penebangan liar di wilayah Indonesia. Kendaraan itu masuk ke wilayah Indonesia menerobos hutan-hutan.

Kini setelah harga BBM naik, penderitaan masyarakat di perbatasan dipastikan tambah berat. Terlebih jika pemerintah masih mengabaikan seperti sikap rezim-rezim sebelumnya, yang hanya melihat Kalimantan sebatas sumber daya alamnya yang bisa dieksploitasi.

Perbatasan Indonesia – Malaysia di Kecamatan Lumbis selama ini memang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Maka tidak heran jika kemudian Malaysia mengklaim bahwa beberapa desa wilayah itu menjadi bagiannya. Itulah konsekuensi Garuda di dadaku, Malaysia di perutku. (herman wijaya/ hw16661@yahoo.com)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun