Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film Indonesia Dipasung Ketentuan Negeri Sendiri, Lalu Bagaimana Nasibnya?

30 Juni 2016   05:19 Diperbarui: 30 Juni 2016   12:24 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: belajarnyaayu.files.wordpress.com

Beberapa hari belakangan ini pemerintah (Kemendikbud) bersama stakeholder perfilman tengah mengadakan uji publik terhadap draft Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunan dari UU No.33 Tahun 2009 tentang Pefilman. Ada beberapa pasal dari UU tersebut yang sedang disiapkan draft Permen-nya, karena sejak UU itu ditandatangani oleh presiden dan siap dijadikan dasar hukum bagi perfilman di Indonesia, 99 persen pasalnya tidak memiliki Permen (PP). Satu-satunya yang sudah memiliki Permen adalah tentang Penyensoran, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film.

Meski pun namanya Uji Publik, kegiatan ini nyaris tidak diketahui oleh publik secara luas, bahkan dari kalangan perfilman itu sendiri. Banyak insan film yang tidak antusias mengikuti, sementara dari kalangan pers tidak banyak yang mengetahui jadwal uji publik itu sendiri. Pihak Kemendikbud (Pusbang Perfilman) yang punya gawe tentang kegiatan ini memang tidak woro-woro agar kegiatannya diketahui oleh pers, khususnya yang biasa meliput perfilman, maupun publik. Seolah ini hanya semacam kegiatan internal belaka.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan Uji Publik? Uji publik dapat didefinisikan sebagai kegiatan semi-sosialisasi dari (draft) standar yang sedang dikembangkan sehingga publik dapat mengetahui lebih dini atas standar yang akan diterbitkan. Kegiatan uji publik ini biasanya merupakan penyempurnaan gagasan yang sudah lama dihimpun dan ditelaah. Dengan adanya uji publik, masyarakat dapat mengetahui struktur draft dari sesuatu yang diuji publik dan juga dapat memberi saran atau kritik, tentunya yang bersifat membangun.

Nah kalau kegiatan ini tidak disosialisasikan kepada masyarakat luas, atau kalangan pers yang bisa mewakili kehadiran publik, tentu patut dipertanyakan: ada apa? Apakah ini semacam sebuah strategi untuk memuluskan suatu rencana tertentu atau bagaimana? Atau, apakah pemerintah lagi-lagi “terbeli” seperti di masa lalu?

Baiklah tidak perlu terlalu panjang mengenai bagaimana proses uji publik itu berlangsung. Tidak baik juga toh suuzon (berprasangka buruk) di Bulan Ramadan ini. Penulis hanya ingin sedikit menyoroti isi draft yang kini dibahas, khususnya yang terkait dengan Pasal 13a.

Pasal 13a menyebutkan:

  • Pelaku usaha pertunjukan film berkewajiban mempertunjukkan film Indonesia paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut. 

  • Film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan sebagai berikut:

a. Untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki 1 (satu) bioskop dengan 1 (satu) layar, persentase dihitung terhadap penggunaan layar tersebut;

b. Untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki 1 (satu) bioskop dengan layar lebih dari 1 (satu), persentase dihitung terhadap penjumlahan jam pertunjukan pada seluruh layar; dan

c. Untuk pelaku usaha pertunjukan film yang memiliki lebih dari 1 (satu) bioskop, persentase dihitung terhadap penjumlahan seluruh bioskop dan seluruh layar.

Sampai dengan poin-poin itu terlihat tidak ada masalah, dan film Indonesia seolah mendapatkan angin segar, sesuai semangat ketika UU No.33 Tahun 2009 yang dibuat untuk melindungi film Indonesia.

Tetapi “Jebakan Betmen” mulai muncul di poin 5 yang menyebutkan: Perhitungan pemenuhan 60% persen film Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) ditentukan berdasarkan mekanisme batas perolehan penonton sebagai berikut:

  • Film yang mencapai perolehan penonton sekurang-kurangnya 35% (tiga puluh lima persen) dari total kapasitas kursi penonton per hari di sebuah bioskop wajib dilanjutkan penayangannya;
  • Film yang perolehan penontonnya kurang dari 35% (tiga puluh lima persen), dapat dikurangi jam pertunjukannya atau diturunkan.
  • Film yang perolehan penontonnya tidak mencapai 15% ( lima belas persen) penayangan hari pertama dapat langsung diturunkan.
  • Film yang perolehan penontonnya lebih dari 15% (lima belas persen) pada hari pertama dilanjutkan penayangannya pada hari kedua.
  • Batas perolehan penonton pada hari kedua mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b. {Kemala Atmojo, BPI, 21/5/2016}( tidak jadi di pindahkan ke pengutamaan, amaroossa 4/6/2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun