Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pelemahan Rupiah, (Mungkin) Hukuman Amerika untuk Jokowi

2 September 2018   11:27 Diperbarui: 2 September 2018   12:56 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto, Dok. Pribadi

Rupiah terus melemah dalam beberapa hari terakhir. Jumat (31/8/2018l), satu dolar AS setara dengan Rp 14.729. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah sebelumnya menjelaskan, tekanan yang terjadi pada rupiah dipicu oleh faktor eksternal. Yakni revisi data produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat (AS) kuartal II.

Terpisah, Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah ini didominasi karena ketidakpastian global yang masih berlangsung.

Tantangan global, kata Andry, berupa krisis ekonomi Turki dan perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Selain itu, kondisi defisit transaksi berjalan (CAD) pun menjadi salah satu penyebabnya.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Jadi persoalannya bukan karena faktor di dalam negeri.

Lepas dari argumen para ahli keuangan, pelemahan rupiah tetap membuat ketar-ketir. Penguatan rupiah pada gilirannya akan disusul dengan meningkatnya harga barang. Beban utang yang harus dibayar pemerintah atau swasta semakin besar.

Benarkah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akibat faktor-faktor yang dipaparkan para ahli? Apakah pelemahan rupiah tidak ada kaitannya dengan "hukuman" Amerika terhadap pemerintahan Jokowi?

Sebelumnya, dalam dokumen yang dipublikasikan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berbasis di Jenewa pada 6 Agustus 2018, AS meminta organisasi multilateral itu untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sebesar US$ 350 juta (setara Rp 5 triliun).

Permintaan itu, menurut alasan AS, disebabkan karena Indonesia tak melaksanakan putusan WTO yang memenangkan gugatan Negeri Paman Sam terkait kebijakan pembatasan impor yang diterapkan oleh Jakarta.

Lewat gugatan itu, AS mendesak Indonesia untuk melonggarkan kebijakan impornya agar produk ekspor dari Negeri Paman Sam bisa masuk ke Tanah Air. Desakan itu muncul, di tengah upaya pemerintah RI yang tengah mengejar swasembada pangan dan melepaskan ketergantungan dari impor produk asing.

AS menggugat Indonesia melalui WTO pada 2013, karena Jakarta menerapkan pembatasan impor terhadap sejumlah produk hortikultura dan peternakan --yang menjadi andalan ekspor Amerika ke Indonesia.

Kebijakan itu, klaim Washington, merugikan keuntungan ekspor AS ke Indonesia hingga sebesar US$ 350 juta per tahun 2017. Nominal itu kemudian dijadikan retaliasi oleh AS dalam mengusulkan sanksi terhadap Indonesia via mekanisme WTO.

Itu satu soal yang membuat Amerika marah. Konon ada kemarahan lain yang tidak diungkapkan terus terang, yakni pembelian saham PT Freeport oleh Indonesia.

Seperti diberitakan, akhirnya Pemerintah Indonesia berhasil melakukan divestasi saham Freeport sebesar 51%. Atas permintaan pemerintah pula, sesuai UU Minerba, disetujui juga perpanjangan operasi dua kali sepuluh tahun hingga 2041, pembangunan smelter, dan apa yang disebut sebagai stabilitas finansial.

Sebelumnya, kepemilikan saham Indonesia di Freeport sekitar 9,36%, namun dengan kesepakatan ini pemerintah Indonesia melalui Inalum akan menguasai 51% saham tambang Grassberg, Papua, tambang tembaga terbesar kedua di dunia.

Pihak Amerika sebenarnya berat melepaskan saham yang begitu besar kepada Indonesia. Sebab dengan demikian, perusahaan Amerika yang telah mengeruk kandungan emas di Grassberg, Papua selama 50 tahun itu, akan berkurang secara drastis keuntungannya, walau pun telah mengantongi uang sebesar 53 trilyun dari divestasi saham.

Pegunungan Grassberg di Timika (Tembagapura), Papua memiliki cadangan emas luar biasa.  Besarnya cadangan emas yang ada di tanah Papua ini menurut Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin. sebesar 1.187 ton dengan nilai mencapai USD 469,7 miliar. Jika setiap hari dikeruk, baru pada tahun 2060 habis. Itu pun jika tidak ditemukan cadangan baru.

Keberhasilan Pemerintah Indonesia menguasai mayoritas saham Freeport adalah karena keteguhan rezim saat ini dalam melaksanakan Undang-undang.

Divestasi Freeport

UU Minerba mengamanatkan, begitu kontrak habis, seluruh rezim KK (Kontrak Karya) akan dihapus digantikan dengan rezim IUPK (Ijin Usaha Pertambangan Khusus).

Kontrak Freeport akan habis 2021. Divestasi bagi perusahaan mineral yang terintegrasi ataupun perusahaan tambang underground seperti Freeport akan diatur secara khusus dalam rancangan Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya, Freeport memberi sinyal hanya setuju melakukan divestasi maksimal 20 persen saham sampai tahun 2021 saat kontrak habis. Namun desakan di dalam negeri, pemerintah harus memiliki saham mayoritas di perusahaan pertambangan. Setelah melalui negosiasi alot, seperti diketahui, Freeport setuju melepas 51 persen saham.

Bagi Freeport (Amerika) kesepakatan divestasi itu cukup menyakitkan, sekaligus memalukan. Bayangan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari tanah Papua melalui eksplorasi tambang emas, kandas.

Bagaimana tidak memalukan, 5 presiden sebelumnya -- dua di antaranya jenderal -- tak mampu mengotak-atik hegemoni Freeport di Timika. Giliran tukang mebel berbadan kurus, Freeport terpaksa menyerah.

Bagi Amerika ini adalah sejarah memalukan kedua setelah kekalahan dalam Perang Vietnam. Tak ada satu negara, atau kepala negara pun di dunia yang boleh mempertontonkan keberaniannya melawan Amerika. Jika tetap kopig, sanksi ekonomi akan dijatuhksn. Bila mungkin, bahkan invasi militer siap dilakukan.

Banyak pemimpin negara yang tumbang karena melawan Amerika. Caranya dengan menekan secara ekonomi sampai rakyatnya sendiri marah, lalu berontak melawan pemerintahnya sendiri. Sekuat apapun ekonomi sebuah negara, Amerika punya cara untuk menggoyangnya.

Mari urut satu persatu negara-negara yang jadi susah karena tidak menuruti keinginan Amerika.

Turki tengah mengalami guncangan ekonomi lantaran nilai Lira, mata uang Turki anjlok drastis setelah Amerika manaikan harga baja dan almunium dari Turki. Turki lalu membalas dengan dengan mengumumkan tarif baru pada beberapa produk AS termasuk mobil, alkohol dan tembakau.

Ketegangan antara AS dan Turki melonjak baru-baru ini karena ketidaksepakatan tentang nasib pendeta dari North Carolina Andrew Brunson. Turki memenjarakan Brunson dengan tuduhan ikut terlibat dalam kudeta di Turki beberapa waktu lalu.

Sebelumnya AS sudah meminta Turki membatalkan pembelian sistem pertahanan udara misil S-400 dari Rusia. Turki tetap keukeh, karena tidak mau didikte oleh negara mana pun.

Senin (20/8/2018), pada pekan lalu, nilai tukar mata uang lira Turki menyentuh rekor terendah setelah melemah hampir 21 persen terhadap dollar AS. Turki terancam krisis hebat. Beruntung China dan Qatar tetap membantu, walau ancaman krisis masih kuat.

Iran juga tengah menghadapi sanksi ekonomi dari AS, lantaran ngotot mempertahankan program nuklirnya. Nilai rial Iran telah merosot 40 persen sejak keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 8 Mei lalu untuk mundur dari perjanjian nuklir dengan Iran.

Amerika memberi sanksi ekonomi dan keuangan kepada Venezuela. Sejak dipimpin Hugo Chavez hingga penggantinya Nicolas Maduro, Venezuela yang kaya minyak selalu menentang AS. Venezuela kini didera krisis ekonomi parah, antara lain ditandai dengan inflasi yang meroket. Mata uang Venezuela, Bolivar, jatuh. Harga tisu dijual 2,6 juta sementara daging ayam 14,6 juta.

Kuba selama dipimpin oleh Fidel Castro menghadapi sanksi ekonomi yang keras, sehingga negara yang menganut paham sosialis itu kondisi perekonomiannya terpuruk. Ketika dipimpin Presiden Kennedy, AS nyaris menginvasi Kuba.

AS selama lebih dari satu dekade telah menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara, namun Korut tetap bertahan dan membandel, sehingga Amerika menambah sanksi untuk memperkuat tekanan terhadap Korut. Caranya, Amerika akan menjatuhkan sanksi kepada setiap negara yang berhubungan dagang dengan Korut.

Tak boleh dilupakan, tumbangnya Saddam Husein (Irak), Moammar Khadafi (Libya) dan krisis di Suriah, karena invasi atau campur tangan AS.

Hukuman untuk Jokowi?

Indonesia bukanlah negara penentang Amerika. Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya ingin menjalankan amanat Undang-undang, terutama dalam mengelola kekayaan alamnya.

Presiden Jokowi  bukan pimpinan suatu negara yang suka mengeluarkan kata-kata pedas kepada Amerika. Tetapi keteguhan sikapnya dalam menjalankan perintah konstitusi, telah menyentuh kepentingan Amerika. Itulah sebabnya, Jokowi konon tidak disukai Amerika.

Seorang wartawan senior mengaku mendengar langsung penuturan wartawan senior Derek Manangka (almarhum), yang  bercerita pernah bertemu dengan seorang agen CIA di Jakarta.

Menurut wartawan senior tersebut, Amerika Serikat benar-benar geram dengan sikap Presiden Joko Widodo yang tidak bisa berlaku seperti anak manis buat Amerika. Karena itu Amerika sedang mencari jalan untuk menjatuhkan Jokowi, agar tidak terpilih lagi.  

Melihat pelemahan rupiah, mungkin saja ini salah satu cara AS untuk menjatuhkan popularitas Jokowi di dalam negeri. Pelehan rupiah terus-menerus akan membuat rakyat marah karena tekanan hidup semakin berat dengan naiknya harga-harga

Meski pun Jokowi sejauh ini masih dianggap pemimpin bersih, rakyat Indonesia saat ini bukanlah rakyat yang sanggup menahan beban ekonomi, dan mau bergandeng tangan untuk melawan tekanan asing.

Jokowi harus menghadapi tekanan yang luar biasa, karena lawan-lawan politiknya di dalam negeri juga memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan politik mereka. Jokowi harus menghadapi dua lawan: Amerika dan lawan politik di dalam negeri.

Jokowi tidak mungkin seperti Erdogan, menghimbau rakyatnya untuk tidak menggunakan produk Amerika, tidak menyimpan dolar atau menjual dolar yang dimilikinya, bisa diketawain. Lawan-lawan politiknya justru terbahak-bahak melihat rupiah makin melemah, karena itu juga berarti makin lemahnya Jokowi. Dengan begitu peluang untuk menggantikannya semakin besar.

Amerika Serikat memang lihai memainkan isu seperti itu. Jatuhnya Presiden Soekarno di masa lalu disebut-sebut karena andil Amerika.

Sebagai hadiah dari penguasa yang didukungnya ketika itu, Amerika mendapat konsesi pertambangan di Pegunungan Grassberg, Timika, Papua, yang kini "direbut" kembali oleh Jokowi. Itu yang membuat Amerika marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun