Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

AFI Bersama FFI: Legalisasi Pemborosan Anggaran di Era Jokowi

4 Agustus 2016   08:22 Diperbarui: 4 Agustus 2016   10:42 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Sulut Olly Dodokambey, Mendikbud Anies Baswedan dan Sekjen Kemdikbud Didi Suhardi dalam peluncuran AFI 2016 di Jakarta, 10 Juni 2016 lalu (Foto: Herman Wijaya)

Pusbang nampaknya tidak berdaya menghadapi aktor intelektual di perfilman, yang merancang berbagai kegiatan, dan buntut-buntutnya adalah menguras dana pemerintah. Pusbang juga tidak mampu membuat cetak biru festival film yang  menjadi dasar penyelenggaraan festival selanjutnya.

Sebagai contoh dalam Festival Film Indonesia, yang selalu melakukan uji coba dari tahun ke tahun, sejak Badan Perfilman Indonesia (BPI) menjadi operator.

Tahun 2014 BPI menyodorkan konsep 100 juri untuk menilai film-film peserta FFI. Lalu ditunjuk Delloite, sebuah lembaga akuntan internasional untuk mengumpulkan hasil penilain juri – seperti quick count dalam Pemilu – dan film yang mendapat suara paling banyak akan jadi pemenang.

FFI Tahun 2015 tidak kedengaran lagi peran Delloite, dan tahun 2016 ini juga tidak disebut-sebut. Tapi konsep 100 juri tetap berjalan, walapun, menurut info dari seseorang yang pernah terlibat dalam kepanitiaan, tidak seluruhnya 100 juri itu bekerja dengan total dalam melakukan penilaian. Belum lagi ada conflict of interest karena banyak juri yang filmnya juga menjadi peserta festival, walau untuk kasus itu kabarnya sang juri tidak ikut menilai – hanya temannya yang menilai.

FFI 2016 kembali BPI melakukan uji coba, yakni dengan menyertakan 40 anggota asosiasi film untuk membuat short list nominasi kategori yang sesuai dengan asosiasi terkait. Asosiasi apa saja itu? Apakah cuma 40 asosiasi itu yang berperan dalam produksi film saat ini?  Apakah asosiasi itu hanya stake holder BPI yang sebagian tidak jelas bentuknya?

Yang aneh dalam FFI 2016 ini adalah tema yang diusung: Restorasi, dan peluncuran FFI 2016 diadakan bersamaan dengan pemutaran perdana film klasik Tiga Dara (karya H. Usmar Ismail yang dibuat tahun 1956), hasil restorasi dengan format 4K Digital.  Mengapa aneh? Lha kok tema dan launching FFI bisa bertepatan dengan pemutaran film tersebut? Sebetulnya siapa mengikuti siapa? Kalau menentukan malam puncak saja belum dipastikan, tapi tema dan launching FFI bisa dibuat pas tanggalnya dengan film tersebut. Ada apa ini?

FFI itu sebuah perhelatan besar, yang sejarahnya dulu digagas dengan pemikiran serius oleh orang-orang yang punya keperdulian tinggi terhadap perfilman, bukan oleh segelintir oportunis yang mencari kesempatan di perfilman. FFI hendaknya menjadi gerbong di mana seluruh kegiatan perfilman di tanah air mengikutinya, pada saat ajang itu diselenggarakan. Bukan sebaliknya.

Tapi sudahlah, hidup ini mungkin coba-coba, maka seluruh aspek yang menyertai kehidupan itu juga mungkin bisa dicoba-coba, termasuk dalam penyelenggaraan festival film. Yang tidak boleh dicoba-coba adalah memboroskan anggaran ketika negara sedang susah. Ajakan Pak Jokowi, “Ayo kerja, kerja, kerja!” perlu ditambah: “Jangan boros!” (hermanwijaya61@gmail.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun