Madrasah Digital dan Pemahaman Sebagian Guru
   Pada opini kali ini, penulis akan bercerita tentang fenomena pemahaman sebagian guru tentang suatu konsep di suatu madrasah. Madrasah tersebut berencana menerapkan konsep madrasah digital pada tahun pelajaran yang akan datang. Mayoritas guru membayangkan bahwa kegiatan pembelajaran pada masa berlakunya program madrasah digital, nantinya guru akan menulis sajian materi di atas layar smartboard (TV interaktive) menggunakan spidol khusus tanpa tinta (styluspen). Mereka berasumsi bahwa segi penyajian materi dan teknik penyampaiannya antara pada masa madrasah digital dengan sebelum masa madrasah digital tidak ada bedanya. Mereka membuat pra-simpulan bahwa konsep madrasah digital artinya mengganti papantulis kayu dengan "papantulis" elektronik bernama TV smartboard dan spidol bertinta diganti dengan spidol tanpa tinta (styluspen).Â
   Para guru (sebagian guru) mengasumsikan juga bahwa bentuk konkret konsep paperless pada masa madrasah digital adalah nantinya di atas meja guru tidak akan ditemui semua lembar administrasi yang berwujud kertas, misalnya buku absensi siswa, jurnal mengajar guru, daftar nilai, buku paket atau buku referensi, dan semua lembar administrasi pembelajaran yang berwujud kertas. Semua buku dan lembar administrasi pembelajaran diubah bentuknya menjadi digital.Â
   Pada kegiatan pembelajaran para guru mengasumsikan bahwa nantinya guru akan menyuruh siswa melihat buku paket di HP android, tablet, atau laptop yang berformat pdf atau format digital yang lain. Ketika siswa akan mengerjakan/ menjawab soal atau ketika siswa akan mencatat poin-poin penting dari penjelasan guru, siswa akan mencoretkan tulisannya secara langsung pada layar HP android atau layar tablet touchscreen menggunakan styluspen. Pada tas siswa pun nanti tidak akan ditemui lagi buku tulis, buku paket, pensil, bolpen, penghapus, penggaris, dan semua benda yang berwujud kertas. Tas siswa nantinya hanya berisi benda elektronik, seperti HP android, tablet, atau laptop.Â
   Pertanyaan penulis adalah apa perbedaan antara masa madrasah digital dengan masa sebelum madrasah digital (dari segi penyajian materi dan teknik pengelolaan kelas), kalau hanya sekedar mengganti papantulis kayu menjadi smartboard dan spidol bertinta menjadi styluspen? Sah-sah saja orang mengira-ira apa yang akan terjadi tentang sesuatu yang belum terjadi. Pertanyaan lebih lanjut, mengapa tidak dibicarakan untuk memaksimalkan fungsi fitur-fitur smarboard untuk pembelajaran digital? Smartboard adalah TV interaktive touchscreen canggih yang terhubung dengan internet dan dapat digunakan untuk mengakses aplikasi pembelajaran online serta dapat mem-browsing situs-situs pembelajaran.
Pemahaan Yang Perlu Diluruskan
   Penulis telah melakukan eksperimen pembelajaran digital sejak bulan Januari 2020 (sebelum pandemi). Eksperimen pada masa pandemi lebih intens dan lebih meluas pada berbagai aplikasi android atau aplikasi berbasis web, bukan sekedar eksperimen berbagai LMS (Learning Management System). Penulis berpendapat bahwa bukanlah disebut madrasah digital kalau gurunya tidak maksimal memanfaatkan fitur-fitur kreatif-interaktif untuk diterapkan pada kegiatan belajar mengajar sesuai dengan karakteristik matapelajaran (mapel) masing-masing. Kreativitas pemanfaatan fitur-fitur interaktif oleh guru yang kreatif inilah yang seharusnya terjadi pada masa madrasah digital.Â
   Pada masa pembelajaran digital, hendaknya guru dapat memaksimalkan penggunaan fitur-fitur interaktif yang dimiliki google (sebenarnya jangan sebatas google saja), seperti google docs, google slides, google sheet, google meet dan lain-lain. Guru juga hendaknya dapat memaksimalkan penggunaan fitur-fitur interaktif yang dimiliki oleh microsoft, seperti microsoft word online, microsoft excel online, microsoft powerpoint online, microsoft sway online, dan microsoft teams. Selain fitur pada dua raksasa digital, google dan microsoft, banyak juga atau aplikasi berbasis web di luar google dan microsoft yang sangat bermanfaat, interaktif, dan pastinya menyenangkan.Â
   Perubahan sarana prasarana (media pembelajaran) dari konvensional menjadi digital adalah sebuah keniscayaan. Tetapi menurut penulis, perubahan mindset guru agar memiliki keterampilan digital dan kreativitas dalam berfikir, bersikap, dan bertindak secara digital, itu lebih utama daripada digitalisasi sarana parasarana. Jangan berharap menghasilkan siswa yang kreative jika gurunya sendiri tidak kreatif, lagi-lagi kembali kepada kreativitas guru. Kita sepakat, bahwa kita (guru) dituntut menghasilkan siswa yang dapat berpikir kritis, kreatif, dan siswa yang memiliki kemampuan berkolaborasi untuk menghadapi dunia yang serba tidak menentu kelak.
Paperless
   Setiap mapel memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan mapel lain, contohnya mapel matematika (karena kebetulan penulis adalah guru matematika). Siswa tidak bisa hanya diajak mendengar/ melihat sajian materi dari guru. Lebih dari itu, siswa harus "melakukan aktivitas matematika". Aktivitas siswa pada kegiatan belajar matematika tentu berbeda dengan aktivitas siswa pada kegiatan belajar mapel seni budaya atau pendidikan jasmani, misalnya. Belajar matematika adalah "melakukan aktivitas matematika". Keterampilannya adalah keterampilan mental (otak), bukan keterampilan fisik. Kegiatan motorik mata membaca dan tangan bergerak menulis hanyalah sarana dari kerja otak.Â