Mohon tunggu...
Matheus Giovanni CTNLP MBTLTA
Matheus Giovanni CTNLP MBTLTA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup adalah kesempatan jadi berkat

Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. Tuhan ingin kita kembali istimewa. Melayani : Psikoterapi berbasis Neuro-Linguistic Programming, Time Line Therapy, Past Life Regression Therapy, Clinical Hypnotherapy Konseling Anak/Remaja/Keluarga/Pasutri Training/Workshop Neuro-Linguistic Programming, Time Line Therapy, Past Life Regression Therapy, Clinical Hypnotherapy Resensi Buku Call : 085700745872 (WA/Line) Instagram (@matheusgiovanniputragana) Rumah & Kantor : Jalan Cindelaras Gang Randu No 1 RT 07 RW 05 Kepuhsari Krodan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, DIY

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kebahagiaan Tidak di Luar

16 Maret 2018   15:17 Diperbarui: 16 Maret 2018   15:33 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Matheus, kamu sedang mencari apa atau siapa?" tanya salah satu pesaingku kepadaku ketika aku sedang mondar-mandir dan garuk-garuk kepala di hadapannya. "Oh, Dewi, saya tidak mencari sesuatu, namun sedang binggung sekaligus dan khawatir mengenai performa nanti. Takutnya nanti deklamasi puisi akan terdengar cempreng, mengingat lawan-lawanku adalah sempurna dalam pelafalan. Kan aku cadel," jawabku menerangkannya. "Lho, memangnya kenapa dengan cadel? Memangnya itu syarat utama dalam penilaian yang dilakukan dewan juri nanti? Kan bukan, tetapi penghayatan kata per kata yang terkandung dalam puisi. Bukannya itu yang tadi diumumkan Pak Tino? Dia kan salah satu anggota dari dewan juri nanti. Makanya, apakah kamu benar-benar sudah mendapatkan ruh dan kenikmatan dalam deklamasi puisi tadi?" tegas Dewi. "Belum, Dewi," jawabku membuat Dewi tertawa. "Kenapa kamu tidak mencari kenikmatan atau kebahagiaan dalam berdeklamasi dulu? Kok fokusnya malah ke kelemahanmu," sergah Dewi sambil mengayunkan tangannya di depan dadanya. Dengan polosnya aku menjawab, "Karena ketika aku bisa berbicara sempurna dan lantang seperti kalian, pasti esensi "kenikmatan" dapat dimanipulasi belakangan.

            Cerita sederhana ini adalah fakta bagi saya (mungkin juga kamu). Ini bukan cerita kepolosan atau bahkan kebodohanku. Bagiku, ini adalah analogi pencapaian yang diinginkan olehku dan setiap orang pada umumnya, yakni kebahagiaan. Aku ingin bahagia. Hal itu tidak dapat ditampikkan. Namun, semakin maju dunia sekarang ini dan semakin dimanjakan oleh fasilitas serba canggih, mengapa aku sendiri dapat dikategorikan mencapai titik kebahagiaan yang sejati?

            Jawabannya, karena aku mencari dan berfokus pada apa yang bukan menjadi inti sebenarnya dari sebuah kebahagiaan. Sama seperti kisahku di atas, aku sering berpikir jika kebahagiaan bisa saya dapatkan dengan memanipulasi bahkan meniadakan kecacatan tubuh, pikiran, dan bahkan pengalaman di masa lalu. "Jika aku mempunyai pita suara yang sempurna, dapat mengucapkan huruf dengan lantang dan benar, maka aku akan bahagia karena kemenangan dari sebuah perlombaan yang saya ikuti semakin dekat dalam genggaman tanganku." Itulah buah pemikiran dan perasaan iri yang sering muncul ketika aku dihadapkan dengan keputusan untuk berbahagia dalam konteks sesungguhnya.

            Aku sering kali mengaitkan sebuah kebahagiaan dengan kondisi tertentu yang dapat saya peroleh dari orang lain. Aku berpikir bahwa jika mencapai apa yang kuinginkan maka aku akan segera merasa bahagia. Namun, apa yang terjadi kemudian setelah beberapa waktu? Setelah mencapai apa yang kuinginkan, kebahagiaan itu mulai kehilangan warnanya yang cantkc dan indah. Ya, seperti pakaian batik yang baru pertama kali dicuci dengan menggunakan deterjen yang banyak akan menyebabkan wana yang dimiliki kain batik tersebut luntur dan larut dalam air cucian.

            Setelah itu, aku berusaha mencarinya dengan berbagai cara, atau dengan lebih banyak berusaha, agar hasil yang kuharapkan dapat segera terjadi. Aku berusaha mendapatkan sebanyak mungkin, tanpa mempedulikan  waktu dan tenaga yang terkuras untuk mendapatkan hal itu. Aku fokus untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dan lebih, sehingga membuatku lupa diri akan apa yang telah kumiliki dan menggunakannya untuk mencapai kebahagiaan. Aku terlalu sibuk untuk menutup segala kelemahan diri dan berusaha untuk tidak mengakuinya. Aku terlalu sibuk meraih kesuksesan dengan selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, yang jelas-jelas sudah berbeda dengan apa yang kumiliki. Aku lupa bahwa apa yang sedang saya impikan adalah kebahagiaan sejati dengan senantiasa bersyukur dan mengoptimalkan apapun yang ada, termasuk kekurangan diri.

            Satu-satunya cara untuk menemukan dan menjadi pribadi berbahagia sejati adalah dengan masuk dan menjadi satu dengan kebahagiaan yang sejati itu sendiri. Melepaskan diri dari ikatan ketakutan. Ya, benar ketakutan adalah hantu terbesar sepanjang masa hidup saya. Aku takut kalau tidak melakukan sesuatu sesuai harapan/ ekspetasi orang lain. Aku takut kalau tidak mencapai sebuah kemenangan di dalam lomba atau persaingan, apapun bentuknya. Aku takut tidak dihormati. Aku takut tidak dicintai oleh orang yang kucintai, dan sebagainya.

            Dan setelah kurenungi segala bentuk pemikiran, perasaan, dan tingkah lakuku selama ini, ternyata di dunia ini tidak ada orang jahat, yang ada hanya orang yang takut. Misalnya, aku yang takut akan kalah dalam sebuah perlombaan, dalam bentuk apapun, bisa saja berbuat curang. Contoh lainnya, ketika aku takut tidak dicintai oleh orang yang kucintai, bisa saja aku berlaku bukan seperti aku biasanya, atau istilahnya aku bukan menjadi diriku yang sesungguhnya. Bisa jadi aku menjadi bermuka dua, dan sebagainya.

            Kebahagiaan adalah sesuatu yang sangat sederhana. Bahkan karena terlalu sederhana sampai-sampai aku sendiri tidak mempercayainya. Atau bahkan mengada-adakan sebuah kebahagiaan yang ternyata bersifat semu. Untuk menjadi bahagia, aku tidak memerlukan apa-apa, tidak perlu mencarinya di luar dari kemampuan dan wewenangku. Semua perangkat kebahagiaan itu telah ada dan selalu ada di dalam diriku, setiap hari di manapun aku berada.

            Kebahagiaanku dapat aku capai dengan cara melepaskan atau dalam bahasa spiritualnya adalah mengikhlaskan. Melepaskan atau ikhlas dari harapan terhadap hasil yang kuinginkan. Dengan kata lain, aku menerima dan bersyukur dengan apa yang terjadi dan dengan apa yang kuperoleh. Apakah itu tandanya aku tidak boleh menginginkan atau mengharapkan sesuatu yang besar? Tidak sama sekali. Yang kulepaskan dan yang kuikhlaskan bukan keinginannya, tetapi hasilnya. Melepaskan atau mengikhlaskan adalah sesuatu yang sederhana. Namun apakah aku sudah sungguh-sungguh berniat melepaskan dan mengikhlaskan harapan akan hasil itu? Hasil adalah sesuatu di luar pengawasanku. Yang bisa kukerjakan adalah bekerja secara tekun dan penuh antusias.

            Jika untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati sesederhana itu, mengapa aku tidak banyak bahagia? Karena aku tidak terlatih untuk melepaskan dan mengikhlaskan dalam menerima keadaan yang terjadi. Selama hidup, aku lebih sering belajar dan juga diajarkan untuk mendapatkan bukan memberi, mengejar bukan melepas, mengumpulkan dan bukan untuk berbagi. Dan kebahagiaan itu bukan berada di luar melainkan di dalam diriku sendiri.

(bersambung) .... (pribadi mana dari ketiga pribadi di dalam foto ini yang sudah menemukan kebahagiaan yang otentik?)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun