Mohon tunggu...
DJOKO MOERNANTYO
DJOKO MOERNANTYO Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Laki-laki biasa-biasa saja. Berujar lewat kata-kata, bersahabat lewat dialog. Menulis adalah energinya. Suka BurgerKill, DeadSquad, Didi Kempot, Chrisye & Iwan Fals. Semoga mencerahkan :)\r\n\r\n@personal blog:\r\n#airputihku.wordpress.com\r\n#baladaatmo.blogspot.com #Follow: Twitter: @matakucingku\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Promotor Undercover: Cerita di Balik Mahalnya Tiket Konser

15 September 2013   17:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:51 3608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kelak, ketika anak, ponakan, atau kerabat, ditanya soal cita-cita dan jawabannya adalah: promotor musik! Rasanya bukan hal yang aneh lagi ya.Betul, profesi dan lahan bisnis promotor musik ini belakangan memang memuncak dan menarik banyak orang muda untuk mencobanya. Sayangnya, meski beberapa sukses mendatangkan artis terkenal, masih banyak suara miring kepada promotor-promotor yang didukung momentum itu. Permainan harga artis yang ngawur, pencucian uang atau sekadar mencoba-coba peruntungan saja. Yang sebenarnya?

++

ISTIRAHAT! Begitu celetuk Adri Subono, bos JAVA Musikindo, ketika kerap ditanya wartawan soal mengapa tidak membeber rencana menggelar konser di tahun 2012 lalu. Padahal promotor-promotor ‘kemaren sore’ [untuk tidak mengatakan baru kinyis-kinyis] sedang binal-binalnya mendatangkan banyak musisi asing ke Jakarta dan Indonesia. Gebrakan mereka –promotor-promotor baru itu—termasuk mengejutkan. Mereka sukses mendatangkan nama-nama besar yang juga menyedot animo penonton, meski mungkin harga tiketnya gila-gilaan nggak wajar. Pernah membayangkan nonton konser dengan harga tiket 27 juta sebiji? Jangan bayangkan, kalau tidak mau ‘mati berdiri’ saking kagetnya.

Tentu kita juga berhitung, kalau harga tiket semahal itu, lalu berapa biaya mendatangkan artis tersebut. Hitung-hitungan bisnisnya memang sulit diterima akal normal, karena biasanya promotor mengeluarkan bujet yang cukup mencengangkan.

Tapi memang industri hiburan di Indonesia temasuk paling menggairahkan. Tidak peduli ada krisis ekonomi, politik atau sosial, antusiasme menonton konser musik tetap saja tinggi.  Yang paling menggiurkan tentu saja perputaran bisnisnya. Tak heran, kalau selama ini hanya mengenal beberapa nama besar di bisnis promotor, kini seabrek nama-nama baru bermunculan, dengan kekuatan modal yang tidak bisa diremehkan.  Memang bukan pekerjaan mudah mengurus konser, banyak hal yang kudu dipelajari dan dimengerti. Tapi bukan berarti anak-anak muda itu tak punya nyali menjadi promotor.

Satu sisi bagus, karena akan banyak pilihan artis-artis yang didatangkan. Bahkan artis yang sedang ngetop-ngetopnya pun bisa dengan cepat menggelar konser di Jakarta atau Indonesia. Semisal Katty Perry atau Justin Bieber atau mungkin Lady Gaga.  Tinggal tunggu waktu saja, kapan musisi-musisi kelas dunia berdatangan. Apalagi kalau artis A sukses kemudian berpromosi kepada kawannya di undang untuk konser di Jakarta. Mereka akan saling memberi informasi. Dan itu adalah promosi gratis yang paling mahal. Kepercayaan. Banyak promotor yang bermunculan jelas satu sisi membanggakan dan menjadi bukti bahwa industri hiburan sudah berkembang pesat.

“Saya tidak percaya ada promotor yang bisa untung besar. Kecuali kita kejar harga tiket mahal,” ujar Peter Basuki, bos Buena Production, yang beberapa tahun belakangan memilih “tiarap” menggelar konser besar.

Peter senada dengan Adri Subono yang ‘rehat’ sejenak dari konser dan memilih membangun kantor sembari bermain-main di film. Adri sendiri dikenal sebagai promotor yang sudah punya patokan harga tertentu untuk mendatangkan artis. Biasanya, mematok harga artis maksimum $150.000 atau sekitar Rp1,275 miliar. Harga itu ditambah biaya produksi, total biayanya menjadi Rp1,7 miliar. Alasannya masuk akal, karena Adri tidak mau menjual tiket mahal-mahal yang akhirnya malah merugikan penonton. Artis termahal yang pernah didatangkan adalah Mariah Carey, karena harus merogoh sampai Rp 3.5 miliar.

Salip-Menyalip Promotor Baru

Beberapa nama promotor yang mulai berkibar namanya adalah Big Daddy, Indika, Berlian Entertainment, ShowMaxx, Blackrock Entertainment, Star D, Variant Entertainment. Nama ini disebut karena merekalah yang belakangan meramaikan dunia hiburan di Indonesia dengan mendatangkan artis-artis yang mengagetkan. Siapa yang tidak terkejut ketika nama-nama besar seperti Lady Gaga, Paramore, Morissey, Evanescence, Metallica, Super Junior, Dream Theater, dilansir bakal menggelar konser di Jakarta. Yang lebih mengejutkan sebenarnya adalah “persaingan” dalam mendapatkan artis-artis tersebut. Karena –kabarnya—banyak yang gila-gila menawar hingga kemudian mendapat harga yang fantastis. Imbasnya memang harga tiket penonton jadi rada sadis.

Bagaimana sebenarnya yang terjadi dibalik persaingan promotor itu? Beberapa promotor yang dihubungi lewat surel hingga berita ini ditulis tidak memberikan jawaban. Namun ada pihak yang berada dilingkar dalam bertutur banyak kepada penulis. Menurut Sastro –sebut saja begitu—ada banyak trik dan jegal menjegal dalam persaingan mendapatkan artis yang akan didatangkan. Menurutnya, banyak hal menarik dicermati dari promotor-promotor baru itu.

“Mereka hebat, kalau tidak bisa dibilang nekat, berani mendatangkan artis-artis top internasional yang memang benar-benar ditunggu oleh pasar,” jelasnya. Sayangnya, bid yang mereka gunakan kadang-kadang –dalam bahasa Sastro adalah tidak waras—karenaberani menyalip dengan harga yang sebenarnya diluar harga pasar.Sastro memberi contoh, ketika membantu nge-bidband Amerika yang bakal manggung pertengahan tahun ini. Kemudian responsible agent-nya memilih promotor lain dengan alasan, "yes we're closed with X promoter, because he offered more money than others".

Itulah mengapa, banyak artis asing yang kini menjadikan Indonesia sebagai “surga” karena mereka tahu, promotor Indonesia berani bayar lebih ketimbang harga resmi yang mereka tawarkan.

Menyimak pola kerja promotor-promotor baru itu mengasyikkan juga. Ada yang menyebut mereka tidak punya ‘unggah-ungguh’ atau sopan santun dalam bersaing mendatangkan artis.

“Rata-rata promotor baru dan langsung besar itu, didukung dana yang besar. Saya tidak tahu darimana sumber dana itu, tapi jadi persoalan dan merusak etika ketika mereka semena-mena mem-bid artis top dengan harga seenaknya. Yang rept ketika menentukan harga tiket, semua jadi tidak bisa ditebak. Bisa murah, tapi bisa sangat mahal pula,” jelas Sastro lagi. Persoalan networking juga jadi persoalan promotor baru. “Banyak yang tidak punya kontak ke responsible agent tapi mengandalkan sub-agent atau mid-agent sehingga artis-artis itu harganya mahal, karena sudah naik dari harga awal,” imbuhnya.

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Triadi Noor, Business Development Varian Entertainment. Menurut pria yang sukses mendatangkan Dream Theater ke Indonesia ini, sebenarnya banyak promotor baru yang kinerjanya bagus, tapi mereka memang kurang didukung networking. “Yang perlu mereka waspada itu adalah jangan sampai mendapatkan agen yang sembarangan atau malah menipu,” jelasnya. Dalam pengamatan pria yang pernah mendatangkan Kitaro dan Maher Zein ini, selama para promotor baru itu masih dalam kerangka berpikir ini adalah industry business positive, mereka akan akan bertahan dan bersaing sehat.

Soal persaingan mendapatkan artis, Triadi mengaku, selalu ada hal-hal menarik yang terjadi ketika bidding dibuka. “Selalu terjadi salip menyalip ketika sedang menawar artis. Dan memang, artis dengan nama besar harganya selalu mahal. Begitu kita menang nge-bid, harus siap dengan DP-nya,” imbuhnya.Dalam kacamata pria yang akan mendatangkan legenda progresif rock, YES, setiap nge-bid yang paling “menyebalkan” adalah promotor-promotor baru itu tidak takut meski harga artisnya mahal banget. “Saya bingung, uangnya nggak habis-habis,” ucapnya sembari geleng-geleng.

Log Zhelebour malah tertawa mendengar istilah uang yang nggak ada habisnya. “Omong kosong kalau tidak terbatas, yang jelas mereka masih baru belum punya pengalaman jadi masih nekad dan intuisi kalkulatornya belum jalan. Jadi mereka baru mencari nama supaya populer dulu. Siapa tahu dibalik itu mereka punya hutang dimana mana untuk nombokin kekurangan biaya produksi atau targetnya tidak tercapai.”

Sementara Sastro justru melihat ada persaingan tidak sehat didalamnya. “Persaingan mereka, para promotor baru itu, sebenarnya sudah tidak sehat lagi. Mulai dari twitwar, meski tak menyebut kompetitor, hingga bidding artis yang gila-gilaan nggak masuk akal,” terang cowok yang mengaku sedang mempersiapkan konser besar di Jakarta tahun 2012 ini. Buat Sastro, urusanbidding jadi penting, karenaefek yang timbul adalah harga tiket yang melambung tinggi dan penggemarlah yang akan terbebani.

“Bayangkan, bagaimana mungkin sebuah konser artis top bisa melakukan presale hingga berkali-kali? Siapa yang rugi? Fans? Calon penonton? Sponsor dan partner? Atau promotor itu sendiri? Sejatinya semuanya rugi!”tegas Sastro.

Menanggapi pertanyaan bagaimana promotor yang mendatangkan artis dengan mahal banget itu mendapat untung, ada beberapa versi yang bisa diungkap. Menurut Tommy Pratama, bos Original Production, yang terakhir sukses mendatangkan Iron Maiden, sebaiknya kita menggantungkan diri kepada sponsor. “Bagi saya yang sudah mengalami asam garamnya (bisnis promotor) sebaiknya, kita menggantungkan diri dari sponsor,” ujar Tommy. Bahkan bila mungkin, sponsor menutup 100% dari biaya produksi dan promotor bisa untung sebelum pertunjukan dimulai. “Jadi tiket itu murni 100% untuk untung yang masih ditambah dengan kelebihan dana dari sponsor,” ujarnya. Namun hal ini jarang terjadi. Ada sponsor yang hanya menutup 30% dari biaya produksi.

Dalam versi Log Zhelebour lebih melihat, promotor-promotor baru itu “salah prediksi saja dan belum pengalaman”. Dalam pengamatan promotor sejal era 80-an ini, “Dikira honor artis asing itu mahal padahal tidak semahal itu sebenarnya, ini karena bodohnya promotor yang mau diadu domba seperti dilelang saja antar promotor.Padahal yang untung gede agency artisnya karena artis itu belum tentu dibayar sebesar yang ditawarkan pada promotor,” paparnya.

Sementara Triadi menyebut masih bisa untung, asal mendapat sponsor kakap atau besar sekalian. Padahal jujur, berdasar hitung-hitungan atas kertas, untung secara financial kok rasanya muskil ya. “Tapi paling tidak ekspsose dan nama promotor itu jadi melambung tinggi,” ujarnya

Dalam kacamata promotor rock kawakan, Log Zhelebour, keberanian promotor-promotor baru mengambil artis dengan harga tinggi sebenarnya cukup menggelikan. “Menurut saya, itulah bodohnya promotor baru, naluri bisnisnya masih mental pesuruh. Sudah jelas hitungannya nggak masuk akal, mereka masih bersikukuh bahwa dengan harga tiket jutaan rupiah masih ada yang beli disini, padahal itu bukan superstar artis pop yg memang fans-nya berduit,” sergah Log sembari geleng-geleng kepala. Promotor yang identik dengan rock itu juga heran ketika band thrash metal yang pernah manggung di Jakarta, dibayar mahal.

Log berdecak keheranan, ketika banyak promotor muda yang tidak berhitung. “Bayangkan, honor artis ratusan ribu - 1 juta USD juga diambil, padahal jualan tiketnya susah, cari sponsor cash money juga tidak gampang. Akhirnya setelah selesai konser, mereka masih seperti orang bodoh saja. Sementara artis yang dibawa sudah mengantongi 2 miliar, promotornya mungkin masih menunggak pajak, “ ujar ayah satu anak ini tegas.

Arek Surabaya ini hanya terkekeh ketika disebut “takut bersaing modal” dengan promotor baru yang sedang ‘mekar-mekarnya’ itu. “Biarin saja mereka berlomba-lomba mendatangkan artisdengan bujet besarnya, nanti juga bakalan bertobat alias kapok kalau sudah dalam terjerumus.,” ucap ayah satu anak ini tersenyum.

“Masak sih aku kalah modal dengan anak-anak baru itu? Bayangkan, semua perlengkapan produksi konser kelas dunia, aku punya sendiri. Yang benar, aku terlalu cerdas dalam showbiz promotor ini,” ujar penggagas Festival Rock yang sudah melahirkan banyak band rock sukses. “Mendatangkan artis luar yang mau konser, boleh saja asal menurut hitungan tiket bisa dijual kisaran Rp. 30.000,- sampai Rp 100.000 bisa untung gede,” celetuknya enteng.

Sayangnya, belum ada asosiasi resmi promotor di Indonesia  yang punya aturan jelas tentang hal itu. Jadi kalau sekarang masih “saling silang” dalam mendatangkan artis, tergantung “keberadaban” dan “nurani” untuk saling berkompromi saja.  Sayangnya, hal terakhir ini pun sudah semakin hilang.  Keuntungan adalah “dewa”.   Siapa senang, siapa telentang?

#dimuat juga di blog pribadi: airputihku.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun