[caption id="attachment_339148" align="aligncenter" width="300" caption="Gerobak sampah di Casablanca (copyrights:DMW)"][/caption]
Merah putih milik siapa? Ternyata milik komunitas pengumpul sampah juga yang bermangkal di bawah kolong jembatan Casablanca. Buktinya, dua bendera merah putih telah berkibar disana. Meski status sosial mereka selama ini hanya dianggap warga kelas tiga, namun mereka memiliki semangat kemerdekaan yang sama. Mereka sama dengan kita, merasa memiliki negara Indonesia, meskipun kondisi ekonomi tidak berpihak padanya. Hari ini, tanggal enambelas agustus dua ribu empat belas, perayaan hari kemerdekaan Indonesia telah dirayakan seadanya meskipun hanya dihadiri oleh sederet gerobak dengan sampah yang menumpuk dimana mana. Tak ada lagu kebangsaan selain suara bising kendaraan yang lalu lalang di sana. Aku sempat mendengarkan apa harapan mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Sederhana saja pintanya. Mereka ingin memerdekaan diri dari kemiskinan yang membelenggunya selama ini. Tapi mereka merasa, sampah sudah menjadi nasibnya. Mereka butuh bantuan kita, Tanpa itu, mimpi mereka tetap saja teronggok seperti sampah yang tak dipandang mata.
DIANTARA PARA LASKAR KEBERSIHAN
[caption id="attachment_339149" align="aligncenter" width="300" caption="Laskar Kebersihan, para pendorong gerobak sampah (copyrights:DMW)"]
Apa makna kemerdekaan buat mereka. Itulah sebuah pertanyaan yang kulontarkan kepada mereka ditengah tengah waktu istirahatnya. Ada yang menjawab kemerdekaan adalah tatkala Jakarta bersih dari sampah. Yang lainnya menjawab, jika kemiskinan telah memerdekaan kehidupan ekonominya yang pas pasan. Adapula yang menjawab jika kemerdekaan memberikan jaminan berkurangnya kesenjangan antara yang mapan dengan yang masih dibawah garis kemiskinan. Tapi mereka tak pernah mengeluh, meski dengan honor pas-pasan. Mereka hanya berharap diberikan kesehatan, karena kehidupan mereka dari pagi hingga petang berkubang di lahan kumuh yang beratapkan kolong jembatan laying. Sinar matahari memang tak menyentuh tubuh mereka. Tapi panasnya bersama angina, telah memoles kulitnya selegam hidupnya. Untung saja hujan tak muncul semena mena. Hujan selalu membuat mereka terjaga di tengah malam buta. Bagaimana dengan nyamuk. Nyamuk menghadapi dilemma, antara hinggap di sampah atau pengangkutnya. Sama-sama tidak nikmatnya. Teman-teman, atau siapapun yang lewat di sana, mari kita bantu mereka apapun wujudnya. Termasuk makanan yang bisa mengganjal perutnya
MENGADU NASIB DI BAWAH KOLONG LANGIT
[caption id="attachment_339151" align="aligncenter" width="300" caption="Nikmatnya bersantai dibawah kolong (copyrights:DMW)"]
Nama mereka adalah Aca, Uci, Pawab dan Wawan. Mereka adalah sebagian dari 49 orang asli daerah Krawang yang pekerjaan sehari harinya mengumpulkan sampah. Profesi sebagai pengumpul sampah terpaksa harus dilakoni meskipun tak pernah terpikir sebelumnya - sebagai jodoh pekerjaan selamanya. Namun ironinya, salah satu dari mereka justru memiliki empat anak yang semuanya berprofesi sebagai pengumpul sampah. Apakah pekerjaan ini menjanjikan? Mereka hanya bisa tersenyum. Meski kuyakin jika senyum itu menggambarkan getir kehidupan mereka yang keras. Senyuman yang sebenarnya ingin menyampaikan pesan kepada kita tentang ketakberdayaan akan nasib mereka. Ketakberdayaan itu kini terkapar dan tersimpan diranjang yang kumal dan mulai menghitam. Ranjang ini telah berjasa memupus impian mereka yang mengelam.Bagi mereka, ranjang yang selalu tergeletak dibawah kolong jembatan Casablanca yang bising ini adalah saksi mata betapa penatnya kehidupan mereka. Untungnya, mereka punya samore, atau satu motor buat rame rame . Samore adalah aset berharga kebanggan mereka. Bagi mereka, sampah adalah barang-barang sisa, namun berjasa dan tak pernah sia siamenopang kehidupan mereka seadanya.