Remaja dan kaum muda Gen Z mengalami perubahan haluan berpikir. Munculnya sosok Youtuber, Selebgram, Tiktoker, atau Influencer menghadirkan ruang baru dalam kehidupan bersosial media.
Algoritma layaknya kompas kehidupan. Video pendek mampu menagivasi cara berpikir sekelompok orang dalam waktu singkat. Semenjak konsep viralitas muncul ke permukaan, kemampuan bernalar dimanipulasi oleh angka-angka.
Membedakan nilai kebenaran dan ketenaran sangatlah sulit. Sebuah video dengan narasi meyakinkan mampu menutupi ratusan video berbobot setelahnya. Algoritma seperti benang tipis yang nyaris tidak terdeteksi oleh nalar mereka yang awam.
Remaja usia sekolah rentan terhadap jenis video berlabel viralitas. Mereka sulit membedakan antara isi video dan alasan menontonnya. Alhasil, intisari dari sebuah video sulit menyentuh nalar berpikir para remaja ini.
Tontonan-tontonan singkat dianggap tidak memberi efek buruk. Padahal, dampak negatif video pendek mampu merubah arah berpikir dan proses mengambil kesimpulan.
Tidak heran, banyak anak muda saat ini terbiasa pada sesuatu yang instan. Orientasi karir tidak lagi berstandar pada jenis pekerjaan tetap. Mereka lebih tergerak untuk memilih pekerjaan dengan penghasilan besar, namun tidak terkekang waktu dan tempat.
Pilihan menjadi youtuber, tiktoker dan influencer kini mendominasi cara bepikir anak muda. Tidak ada yang salah dengan sebuah pilihan, selama cara berpikirnya tepat dan terarah.Â
Namun, perubahan orientasi pada jenis pekerjaan bukan sesuatu yang lumrah di masa lalu. Tontonan viral memberi dampak pada perubahan haluan berpikir remaja.Â
Akhirnya, jenis pekerjaan dambaan juga berubah. Tujuan bekerja tidak lagi sekedar memenuhi hajat hidup, tapi lebih kepada pemenuhan gaya hidup.
Hal ini juga terlihat jelas pada nilai-nilai yang dipegang erat generasi era digital. Sebagiannya terefleksi pada begitu rentannya posisi karir dalam sebuah perusahaan. Di aspek sosial, gaya hidup hedonisme secara tidak langsung melecehkan harga diri banyak perempuan muda.Â