Drama pendidikan Indonesia tidak pernah ada habisnya. Gonta-ganti kurikulum dan perubahan kebijakan terus berulang. Isu penjurusan di SMA kembali mencuat ke permukaan.Â
Kebijakan baru ini bertujuan untuk memberikan fokus pembelajaran lebih mendalam. Siswa kembali dikelompokkan berdasarkan bidang keilmuan: IPA, IPS, dan Bahasa.Â
Selama pemberlakuan kurikulum Merdeka, penjurusan ditiadakan sementara. Di bawah kendali menteri baru, wacana menghidupkan kembali penjurusan menimbulkan tanda tanya besar.
Apakah Kurikulum Indonesia gagal atau kebijakan baru bersifat sentimental?
Kurikulum di Indonesia selalu bersifat tentatif. Standar perubahan kurikulum bersifat keputusan sepihak tanpa analisa mendalam dan mengabaikan kesiapan tenaga pendidik dan daya tangkap siswa.
Masyarakat selalu mengaitkan pergantian menteri pendidikan dengan pergantian kurikulum. Guru dan siswa di sekolah merupakan korban kebijakan sentimental. Mau setuju atau tidak, guru harus siap dengan kebijakan dan tantangan di lapangan.
Pemangku kebijakan tidak memahami esensi kurikulum dan kontribusi pada dunia pendidikan. Kurikulum seharusnya dirumuskan dengan melibatkan banyak pakar pendidikan melalui rujukan hasil penelitian jangka panjang.
Pergantian kurikulum di Indonesia memberi gambaran sejauh mana nasib pendidik dan anak didik dihargai. Gaji guru pas-pasan dan fasilitas pendidikan tidak merata.Â
Gaji guru Indonesia sangat rendah dibading gaji guru di negara-negara Asia lainnya. Dampak dari gaji rendah terefleksi pada mentalitas dan kualitas guru di seluruh provinsi.
Mayoritas guru Indonesia terbebani dengan sistem administrasi tanpa ujung. Pelatihan demi pelatihan diadakan sekedarnya saja tanpa analisa mendalam untuk melihat dampak  positif pada anak didik.Â