Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bencana dan Alam, Apakah Manusia Kurang Peka Memaknai Bahasa Alam?

24 November 2022   14:55 Diperbarui: 24 November 2022   15:01 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bencana alam. www.freepik.com

Rentetan bencana berdatangan saling berganti di negeri ini. Muncul satu pertanyaan? apakah kita manusia sudah tidak peka lagi dengan bahasa alam?

Semua bencana bermuara pada satu hal, yaitu tangan manusia. Banyak dari akar permasalahan dari setiap bencana alam ada pada ketidakmampuan manusia menggunakan alam dengan benar dan layak.

Contoh nyata, banyak bencana longsor yang berawal dari tandusnya hutan, banyaknya galian C, dan berubahnya fungsi hutan menjadi lahan tidak produktif.

Banjir juga seringkali terjadi akibat luapan air sungai dan laut. Akar masalah juga sama, sampah bertumpuk dimana-mana, tanah dikeruk secara berlebihan, sumber resapan berubah menjadi beton penghalang air.

Manusia mungkin saja tidak lagi memahami alam dengan baik. Mereka kurang peka untuk mendengar jeritan alam. Kian hari alam bengis melihat kebiasaan manusia yang semakin serakah.

Alam bisa jadi lelah menanti manusia berubah seperti dahulu kala. Saat mereka hidup beriringan dengan alam, saling memberi dan menerima. 

Manusia sudah kehilangan kemampuan mendengar dari qalbu, bukan karena mata mereka buta tapi hati mereka tertutup keserakahan. Alam tahu itu karena mereka terus digerogoti.

Sumber daya alam diambil sampai ke dasar bumi, limbah dibiarkan mengalir ke permukaan laut. Emas dikeruk habis, tanah dibiarkan rusak. 

Alam mulai gelisah, tak tau kemana mengadu. Mungkin alam gundah bagaimana cara menegur manusia dengan indah. Barangkali, alam ingin mengungkapkan rasa lewat bahasa cinta.

Tapi, manusia tak lagi peka. Sulit sekali diterka apa yang sebenarnya menjadi sumber petaka.

Manusia enggan menggunakan hati ketika berinteraksi dengan alam. Mereka lebih memilih mata yang seringkali membutakan. Akibatnya, logika manusia menutupi rasa iba pada alam. 

Mereka lagi-lagi membiarkan alam sesak menghirup asap dari minyak yang dikeruk habis. Lalu, manusia mengejar asa yang tak kunjung selesai.

Mereka ingin menanam tanpa menyakiti alam, namun manusia salah menerka maksud alam. Bahasa alam terdengar lebih sulit di telinga manusia.

Tidak seperti dahulu kala, manusia lebih terbuka dan peka pada perasaan alam. Mereka memakai hanya untuk sekedar bertahan hidup, tidak berharap banyak apalagi menjadi durhaka.

Wahai alam, maafkan manusia yang tidak peka. Mungkin mereka sedang terluka dan tidak lagi peka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun