Berbicara support system, orangtua menjadi pemain tunggal menyediakan fasilitas belajar anak. Bahkan, tidak sedikit orangtua yang harus merelakan smartphone mereka menjadi media belajar selama daring.
Akhirnya, orangtua mau tidak mau mengubah perannya dari ayah dan ibu menjadi guru mendadak. Mereka harus memiliki kecakapan membantu anak selama proses belajar daring tanpa meninggalkan peran aslinya.
Mungkin tanpa bantuan orangtua, proses belajar daring hanyalah sebutan atau simbol semata. Sementara hak pendidikan anak seharusnya ada dibawah pemerintah melalui sekolah.Â
Lalu, apa peran pemerintah selama Covid-19?
School closures menjadi kebijakan pertama pemerintah saat pademi. Dengan alasan memutuskan rantai virus dan meminimalisasi korban dari anak didik.Â
Sayangnya, kebijakan ini terkesan hanya sebagai alternatif tanpa solusi tepat. Selain menambah beban orangtua di rumah, penutupan sekolah berdampak luas pada berubahnya tingkah laku anak.
Keberadaan anak di rumah tanpa kegiatan yang bersifat pasti menjadikan anak lebih 'liar'. Ini juga berdampak pada hancurnya manajemen waktu anak karena tidak terstrukturnya proses belajar daring.
Jika anak diharapkan belajar secara daring untuk terhindar dari bahaya virus, seharusnya pemerintah melalui kebijakan sekolah bisa menfasilitasi kegiatan yang tetap mendukung aktifitas fisik minimal 5-10 jam per minggu.
Pemerintah juga perlu berembuk dengan para pakar kurikulum, dosen, guru dan para psikolog, antropolog dan penggiat sosial guna membuat kebijakan yang bersinergi. Jangan hanya menutup akses sekolah dan mengharuskan siswa belajar daring semata.
Buatlah alternatif media belajar secara tatap muka secara terstruktur
Para guru selain kebingungan melakukan apa, mereka juga tidak semuanya memiliki kemampuan merata. Kendala teknologi dan minimnya fasilitas sekolah menjadikan guru kehilangan arah dan target mengajar.