Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Panti Jompo Itu...

29 Januari 2015   22:53 Diperbarui: 9 April 2016   17:28 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Semenjak bekerja di panti jompo sekitar satu tahun yang lalu, hari ini, untuk pertama kalinya Asih melihat penghuni panti yang baru masuk. Para penghuni yang lain sudah ada ketika Asih masuk jadi pengasuh di panti jompo ini.

Penghuni baru itu seorang ibu yang sudah cukup tua. Namun demikian, jika dilihat dari raut wajahnya, kelihatan lebih muda dibandingkan dengan penghuni panti yang lain. Bahkan bisa jadi akan menjadi penghuni panti yang paling muda. Usianya sekitar 55 - 60 tahun. Asih belum tahu dengan pasti.

Ibu itu diantar oleh sepasang suami istri yang kelihatan masih muda. Sang istri tampak sibuk tengah meneteki bayinya. Setelah menyelesaikan urusan administrasi dengan pengelola panti, suami istri itupun berpamitan dengan ibu mereka. Cium tangan, cium pipi kanan kiri kemudian berpelukan. Sesaat kemudian, suami istri itu tampak bergegas meninggalkan ibu mereka. Tanpa menengok lagi mereka berjalan menuju mobil dan dalam sekejap meninggalkan panti. Menyisakan hening.

“Asih, tolong antar Bu Ratmi ke kamarnya !”

Suara kepala panti membuyarkan konsentrasi Asih yang sedang memperhatikan penghuni baru itu.

“Baik, Bu.”

Dengan sabar, gadis berjilbab itu menuntun Bu Ratmi menuju kamarnya. Tak ada pembicaraan sepatah kata pun di antara mereka berdua. Bu Ratmi tampak murung. Pandangan matanya kosong. Sampai kamarnya, Bu Ratmi hanya duduk termangu di tepian ranjang. Matanya kelihatan nanar, memandang keluar jendela.

“Jika ibu butuh bantuan, ibu bisa tekan tombol ini. Saya akan datang,” jelas Asih.

Bu Ratmi masih diam membisu. Asih pun memahami perasaan Bu Ratmi. Ia pun membiarkan Bu Ratmi dalam bisunya. Begitu Asih pamit untuk mengurus penghuni panti yang lain, air mata Bu Ratmi pun dengan leluasa menuruni pipinya yang mulai berkeriput.

Hari berganti hari. Minggu pun berlalu. Bulan pun terus berjalan. Bu Ratmi pun sudah beradaptasi dengan lingkungan barunya, kehidupan barunya. Bu Ratmi sudah mulai terlihat melakukan kegiatan bersama dengan penghuni panti yang lainnya, entah sekedar ngobrol, bercengkerama atau jalan-jalan bersama. Asih pun ikut senang melihat perkembangan Bu Ratmi.

Yang paling membuat Asih senang adalah karena Bu Ratmi masih sanggup melakukan kegiatan yang tergolong produktif. Bu Ratmi sangat berbakat membuat lukisan benang atau kruistik. Dengan penuh kesabaran dan ketekunan, Bu Ratmi membuat berbagai macam lukisan kruistik.

Wahh … kruistik buatan Ibu bagus-bagus. Ini bisa dijual lho, Bu.”

Ahh … itu ‘khan berkat kamu juga, nduk.”

Ya, semenjak Asih mengajari Bu Ratmi membuat kruistik, Bu Ratmi seolah-olah punya gairah baru. Punya semangat hidup baru. Hubungan mereka pun makin akrab. Bu Ratmi memanggil Asih dengan sebutan “nduk” dan Asih memanggil Bu Ratmi dengan “ibu” atau “bu” saja.

“Bu, Asih boleh tanya, nggak ?”

“Tanya apa, nduk ?

“Yang ngantar ibu ke panti kemarin itu siapa ?”

Bu Ratmi terdiam sejenak.

“Maaf, kalo membuat ibu marah. Ibu nggak mau jawab juga nggak pa-pa. Maafkan Asih, Bu.”

“Nggak pa-pa, nduk. Ibu nggak marah, kok. Yang ngantar ibu kemarin itu anak dan menantu ibu, Sugeng dan Fitri. Setelah Fitri melahirkan, dia merasa kewalahan ngurus bayinya dan ibu. Akhirnya dia usul ke Sugeng supaya ibu di panti jompo aja. Biar ada yang ngurus, katanya. Padahal ibu ingin sekali nggendong cucu ibu. Tapi, biarlah … ibu cukup tahu diri. Nggak mau merepotkan mereka.”

Asih terharu mendengarnya.

“Nggak usah sedih, Bu. Asih akan menemani ibu.”

“Ma kasih, nduk. Kamu memang anak yang baik. Orang tuamu pasti sangat bangga denganmu.”

Waktu terus berjalan. Keakraban antara Asih dan Bu Ratmi makin terlihat. Sering terlihat mereka asyik ngobrol berdua, kadang diselingi gelak tawa. Keakraban ini membuat kepala panti dan penghuni panti yang lain sedikit keheranan.

Suatu hari,

“Berapa umurmu, nduk ?

“Dua puluh lima. Kenapa, Bu ?”

“Umur segitu mestinya sudah punya pacar atau menikah. Udah ada calonnya belum ?”

Asih terdiam sejenak. Sambil menghela nafas,

“Ada sih, Bu. Malahan dia sudah ngajak Asih nikah.”

Wahh … bagus itu. Terus kamu sendiri gimana, nduk ?

“Itulah yang masih jadi pikiran saya, Bu. Saya minta waktu ke mas Jarot untuk menemukan ibu saya terlebih dulu dan mas Jarot ngasih waktu sampe akhir tahun ini. Jika sampe waktunya kami nikah nanti saya belum ketemu dengan ibu, saya merasa ada yang hilang.”

Loh … memangnya ibumu ke mana, nduk ?

“Saya ini anak adopsi, Bu. Sampai detik ini saya masih berusaha mencari ibu kandung saya, tapi belum ketemu juga. Hampir putus asa rasanya.”

Oalahh … kasihan bener kamu, nduk. Ibu do’akan semoga kamu segera bertemu dengan ibu kandungmu.”

“Ma kasih, Bu,” jawab Asih sambil mengusap air matanya yang mulai meleleh di pipinya.

“Yang sabar ya, nduk,” nasihat Bu Ratmi sambil memegang pipi Asih.

Asih pun mengangguk sambil tersenyum. Lesung pipinya mengembang.

Terdorong rasa penasaran dengan kisah hidup Asih, keesokan harinya Bu Ratmi bertanya,

Nduk, ibu mau tanya. Ibu harap kamu nggak marah atau tersinggung.”

“Nggak, Bu. Silakan. Ibu mau tanya apa ?”

“Sejak kapan kamu tahu kalau kamu anak adopsi ?”

“Sejak klas 3 SMA, Bu.”

“Orang tuamu cerita, umur berapa kamu diadopsi ?”

“Umur sepuluh bulan, Bu.”

“Setelah tahu kamu anak adopsi, gimana perasaanmu, nduk ?

“Awalnya saya sempat syok, Bu. Tapi berkat penjelasan bapak dan ibu, akhirnya saya bisa mengerti.”

“Gimana sikap saudaramu dari bapak dan ibu angkat ?”

“Mereka nggak punya anak kandung. Makanya mereka adopsi saya. Saya jadi satu-satunya anak bagi mereka.”

“Oohh … mereka pasti sangat sayang padamu.”

“Betul, Bu. Mereka sangat sayang pada Asih.”

“Terus, kalau tentang ayah dan ibu kandungmu, mereka cerita apa ?”

“Bapak cerita, kalau ayah kandung saya bernama Slamet, seorang tukang becak yang biasa mangkal di depan Pasar Pahing. Ayah kandung saya sudah meninggal kira-kira sebulan sebelum saya diadopsi. Kalau ibu saya biasa dipanggil mbok Minem, seorang pembuat bakul. Pastinya saya nggak tahu karena nggak ada dokumen tentang itu.”

Bu Ratmi diam sejenak.

“Ka .. kalau boleh ibu tahu, siapa nama bapak dan ibu angkatmu, nduk ?

“Pak Bambang dan Bu Anisa, Bu.”

“Pak Ba … Bam … bang ? Bu An … Anisa ?” tanya Bu Ratmi dengan suara sedikit gemetar.

“Betul, Bu. Ibu kenal mereka ?”

“Ke … kenal, nduk,” jawab Bu Ratmi masih dengan suara gemetar.

“Apa hubungan mereka dengan ibu ?”

Bu Ratmi justru balik bertanya,

“A … apa pek … pek … pekerjaan ayah angkatmu, nduk ?

“Tentara, Bu.”

“Na … na … nama lengkapmu siapa, nduk ?

“Welas Asih. Kenapa, Bu ?”

Dipandanginya Asih dengan seksama. Bu Ratmi diam sejenak. Raut wajahnya berubah.

“Bu, … ibu kenapa ?” tanya Asih dengan nada khawatir.

Dengan terbata-bata,

“Asih, … ak … ak … aku ibumu, nduk !

Asih mundur beberapa langkah. Dipandangnya Bu Ratmi dengan seksama. Pikirannya berkecamuk antara percaya dan tidak.

“Be … betul, nduk. A … aku ibumu !”

Suara Bu Ratmi makin gemetar. Air mata Bu Ratmi meleleh. Asih masih bergeming. Masih tidak percaya. Bu Ratmi membuka tangannya berharap Asih datang padanya.

“I … ibu yakin, a … ada tanda lahir di atas siku tangan kirimu. Asih, a … aku ibumu, nduk !

Asih terhenyak. Tanda lahir yang selama ini dia sembunyikan di balik jilbab panjangnya dan tak seorang pun boleh melihatnya, diketahui oleh Bu Ratmi, orang yang baru dikenalnya.

“Bu … bu Ratmi is … istrinya Pak Slamet ?” suara Asih pun mulai gemetar.

“Be … betul, nduk. Aku Bu Slamet, mbok Minem, ibumu.”

Mereka pun berpelukan. Air mata mengalir dengan leluasa di pipi mereka berdua.

“Maafkan ibu, nduk. Waktu itu ibu bingung, nggak tahu harus bagaimana. Bapakmu meninggal. Ibu belum siap menanggung biaya hidup kalian. Kebetulan ada keluarga yang mau merawatmu. Dengan berat hati ibu serahkan kamu kepada mereka.”

“Ng … ng … nggak pa-pa, Bu. A … A … Asih paham, kok.”

“Ma kasih, nduk,” senyum Bu Ratmi mengembang. “Bagaimana dengan bapak ibu angkatmu, nduk ?

“Nggak pa-pa, Bu. Mereka harus tahu hal ini. Mereka pasti senang. Mereka orang baik kok, Bu.”

Keduanya kembali berpelukan, melampiaskan kerinduan. Setelah emosi mereka mulai reda,

“Bu, lebih baik ibu tinggal sama Asih saja. Jangan di sini.”

“Nggak usah, nduk. Ibu nggak mau merepotkan kalian. Lagipula ibu sudah mulai kerasan di sini.”

“Ayolah, Bu. Asih nggak mau pisah lagi sama ibu.”

“Gimana dengan calon suamimu, nduk ?

“Mas Jarot pasti setuju, Bu. Dia pasti senang kalau ada ibu di rumah. Karena sejak kecil dia juga ditinggal ibunya. Ayolah, Bu.”

Akhirnya Bu Ratmi mengangguk. Asih pun segera memeluknya.

To our mother, from us with love. We’re nothing without you.

 

Sumbawa, Januari 2015

 

 Tulisan sebelumnya :

 

Perlukah Menunda Pernikahan dan Kehamilan ?

 

Tulisan berikutnya :

 

Suka Duka Kerja di Tempat Terpencil

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun