Sebenarnya pemerintah baik di daerah maupun pusat sangat bisa dan mudah menghadapi fenomena ini kalau memang niat melakukannya.
Andai Pemerintah di semua tingkatan dan bidang, mempunyai strategi politik bahasa yang jelas dan tegas fenomena ini bisa diminimalisir.
Namun, jika gejalanya saja sudah merambat masif sampai ke tingkat jajaran pemerintahan sendiri di pusat lalu apakah masih bisa diharapkan.
Padahal jika melihat masa lalu ketika Republik baru berdiri, para pendiri bangsa telah secara serius memikiran tentang bahasa bangsanya.
Misalnya dalam penggalan sumpah pemuda yang bunyinya, "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia".
Saking nasionalisnya, semua yang berbahasa asing "di-Indonesiakan" bahkan, sangat malu jika ketahuan tidak bisa lancar berbahasa Indonesia.
Karena mereka tahu betul bahwa bahasa adalah unsur paling vital dalam pembentukan sebuah bangsa yang tidak bisa ditawar-tawar atau disepelekan.
Jika melihat sejarah bangsa-bangsa nusantara di masa lalu, bangsa di wilayah ini memang termasuk yang paling suka gonta-ganti bahasa.
Ketika masuk pengaruh India, kita mengadopsi bahasa sansekerta hingga aksaranya. Ketika masuk pengaruh Arab juga melakukan hal yang sama.
Ketika masuk pengaruh Eropa kita adopsi juga aksara romawi , sedangkan untuk bahasanya masih pakai punya sendiri, setidaknya di Indonesia.
Ketika Indonesia berdiri, semua suku bangsa di dalamnya diminta totalitas adopsi bahasa melayu yang sekarang menjadi bahasa Indonesia.