Masalahnya adalah penggunaan bahasa yang kacau ini bukan terjadi di tingkat obrolan santai saja tetapi sudah hingga ke ranah media dan pemerintahan.
Ketika kita melihat ke media seperti internet misalnya, cara berbicara campuran itu juga mulai sering terdengar atau ditemui di beberapa media sosial.
Banyak media massa (khususnya daring) mulai seperti coba-coba menggunakan bahasa Indonesia secara serampangan untuk ditujukan kepada publik.
Demikian pula dalam jajaran pemerintahan. Banyak sekali para pejabat yang mulai suka menggunakan gaya berbicara campuran Inggris-Indonesia.
Bahkan mereka membuat program-program dan memasarkannya menggunakan bahasa inggris, bahasa yang tidak bisa dipahami oleh semua rakyat.
Sampai membuat terheran-heran, bagaimana mungkin mereka pede melakukan itu menggunakan uang yang berasal dari rakyat.
Misalnya yang pernah viral, New Yogyakarta International Airport, MIND ID, Tax Amnesty, dan masih banyak yang lainnya.
Indonesia hanya beruntung karena pengguna bahasa Indonesia yang cukup disiplin masih lebih banyak karena faktor jumlah penduduknya.
Jumlah pengguna bahasa daerah yang masih cukup banyak di berbagai tempat juga ikut berperan besar menahan kebiasaan itu cepat menular.
Namun hal ini seharusnya dapat dijadikan renungan serius karena jika sudah terlanjur menjadi kebiasaan akan sulit dipulihkan lagi nantinya.
Ibarat sebuah penyakit, fenomena bahasa campuran Indonesia-Inggris adalah gejala yang harus diobati sedini mungkin agar tidak semakin parah.