Membaca sebuah Surat Terbuka Untuk Bapak Mendikbud dari adik kita yang baru saja usai mengikuti Ujian Nasional (UNAS), sungguh membuat rasa ini seakan diaduk-aduk diramu menjadi aneka rasa. Rasa sedih, rasa gemas, rasa marah, dan rasa-rasa lainnya seakan menggedor hati dan menembus urat saraf ini.
Sebegitu susahnya kah adik-adik kita melakoni detik-detik terakhir di masa SMAnya. Menghadapi soal-soal ujian di luar batas kemampuan. Tangis sedih dan duka melanda. Penuh kegalauan, penuh kekawatiran, penuh kecemasan. Penuh pertarungan sebuah idealisme dan realisme yang seakan menjadi paradox atau ironi. Di satu sisi ingin berprinsip dengan kejujurannya, di sisi lainnya harus menghadapi kenyataan yang di luar dugaan.
Nilai-nilai idealisme yang selama ini diajarkan, menjadi luntur karena terbentur keadaan yang dirasa sangat mengkawatirkan. Sebuah kenyataan pahit yang bikin hati menjerit. Ada yang ingin bersungguh-sungguh berjuang dengan segenap kemampuan, namun di sisi lainnya menemui prestasi karena jasa layanan (joki).
UNAS yang hanya tiga hari menjadi monster yang mengalahkan jerih payah dalam tiga tahun. Padahal UNAS itu tiada lainnya, jika kita pikirkan hanya sekedar proses kecil dari sebuah proses panjang dalam pembelajaran. Sebuah pintu dari pintu-pintu lain seperti ulangan harian, ulangan semester, ulangan kenaikan tingkat atau kelas. Mengapa mesti begitu dipersulit dan juga diistimewakan. Padahal setelah UNAS berlalu dan lulus, mereka masih harus menghadapi berbagai ujian dalam kehidupan yang bermacam-macam. Lulus UJIAN bukan akhir, tapi sesungguhnya babak baru untuk memulai ujian baru. Yang ingin melanjutkan study atau kuliah harus berjuang kembali menuntaskan dan mengalahkan soal-soal tes masuk perguruan tinggi. Begitu pula yang tidak sekolah, juga akan menghadapi ujian dalam kompetensi kehidupan di masyarakatnya. Baik dalam dunia kerja maupun aktifitas yang lain. Jadi selama bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit.
Perlu diingat bahwa dalam ujian itu ada pembelajaran sikap dan perilaku. Sikap jujur yang diharapkan menjadi karakter generasi anak bangsa bisa hancur karena benturan masalah yang begitu membebani jiwa. Di saat ambisi sebuah institusi ingin tampil di puncak tertinggi karena gengsi, tanpa menengok kemampuan diri, bisa-bisa nilai suci yang selama ini jadi slogan dan amalan sehari-hari dapat pupus tergerus arus nafsu.
Berharap ke depan ada kebijakan yang lebih berperikesiswaan (seperti terurai dalam surat tersebut). Berharap bahwa lulusan dari sekolah kita menjadi bagian solusi permasalahan bangsa bukan justru menambah permasalahan bangsa.
Salam untuk Indonesia lebih baik…!!!
Surat Terbuka Untuk Bapak Mendikbud