Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Resmi Sanksi PTDH bagi Ferdy Sambo, Malam Ini?

25 Agustus 2022   22:09 Diperbarui: 25 Agustus 2022   22:11 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adanya Peraturan Kapolri (Perkap) tentang Kode Etik Profesi Kepolisian NRI adalah atribusi dari Pasal 34 ayat (3) UU tentang Polri (No. 2 Tahun 2002). Perkap No. 14 Tahun 2011 sebagai rujukan awal hasil dari internal lembaga. Norma hukum dari UU tentang Polri memberikan arahan agar ada aturan kelembagaan internal diatur oleh Polri sendiri. Selain UU tentang Polri juga ada mandat dari PP tentang Pemberhentian dan Disiplin Anggota Polri sejak tahun 2003.

Selain itu juga ada Peraturan Presiden (Perpres) No. 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri. Seiring waktu ada sejumlah revisi dan perubahan yang mengatur lebih khusus tentang Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Baru saja diketuk palu pada tanggal 14 Juni 2022 ada Peraturan Kepolisian (Perpol) NRI No. 7 Tahun 2022 tentang KEPP dan KKEP. Redaksional judul ada perubahan antara "Perkap" dan "Perpol".

Sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) dari Insus rencana akan digelar pada tanggal 25 Agustus 2022. Jumlah yang akan diperiksa oleh Insus ada sekitar 97 orang. Ada 35 yang patut terduga keras melakukan pelanggaran KEPP. Dari sejumlah 35 itu ada beberapa yang telah ditempatkan secara khusus untuk dilakukan pemeriksaan. Lalu tolak ukurnya apa saja?. Hasil dari sanksi dari Insus apa yang menjadi dasar bagi Timsus agar dapat masuk ranah pidana?. Apa celahnya yang termasuk dalam obstraction of justice saja?. Lalu jika ada anggota Polri yang hanya sebagai korban prank tidak terlibat dalam obstraction of justice?. Apakah juga kena sanksi?. Dalam space ini perlu kehati-hatian dari seluruh tim dari Insus.

KEPP diatur dalam Perpol (No. 7 Tahun 2022) yang sifatnya internal dari kelembagaan. Sanksi terberat adalah PTDH yaitu adanya Pemberhentian Tidak Dengan Hormat. Mungkin dapat dimaklumi dalam kepolisian ada faksi atau kelompok tertentu. Jika faksi non FS pasti menginginkan adanya pemecatan. Berbeda dengan yang mendukung atau loyalis FS. Kinerja dari Insus memang dituntut secara profesional agar tidak terjadi konflik kepentingan. Apalagi ada indikasi adanya pengamanan kelompok tertentu. Kritikan dari IPW agar sidang dapat terbuka itu bagus untuk dipertimbangkan. Biar publik paham dan mengerti.

Akan seperti apa vonis terhadap FS?. Jika kita mencermati secara umum sanksi bagi yang "Terduga Pelanggar" dari KEPP bisa berupa teguran agar meminta maaf baik lisan atau tulisan, pembinaan mental kepribadian, mutasi tugas dan PTDH. Lebih fokus lagi secara umum ada 2 (dua) sanksi yaitu Etika dan Administratif (Pasal 107 Perpol). Jika merujuk dari tingkat pelanggaran yang ada. Apalagi sudah mendapat status Tersangka, idealnya PTDH (Pasal 109 ayat (1) point e Perpol) adalah hal yang paling tepat.

Agar dapat dijadikan sebagai warning dan pembenahan internal Polri agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi. Akan seperti apa tindakan dari Komisi Kode Etik Polri (KKEP) dalam menyikapi ini?. Biasanya setelah ada putusan  yang memiliki kekuatan hukum tetap dijadikan rujukan oleh KKEP dalam sidang untuk memberikan sanksi pada anggota Polri berupa rekomendasi berupa PTDH atau tidak. Fakta hukum ini memang unik. Perlu bijak dalam memberikan tafsir dari aturan yang ada.

Lalu jika kasus FS ini akan beranikah ambil sikap diskresi dan progresif untuk vonis PTDH pada FS?. Walaupun belum ada putusan hukum tetap karena masih sebagai Tersangka, idealnya dengan adanya pengakuan dari FS sudah dapat digunakan alasan kuat untuk mengeluarkan vonis PTDH. Ini demi menjaga nilai Tribrata dan Catur Prasetya dalam Polri. Jika dari kedinasan tanpa PTDH juga diberikan kesempatan untuk mengundurkan diri dengan alasan tertentu. Apa hal ini diperlukan?.

Sidang resmi tertutup. Bahkan awak media pun masih dibatasi. Ada 15 saksi yang dihadirkan. Termasuk 3 Tersangka (RE, RR dan KM). Lalu apa kesaksian mereka?. Ini tentunya tidak akan ada yang tahu. Kebijakan yang diambil diumumkan hanya hasil putusannya saja. Saat proses awal akan ada sidang KEPP muncul sejumlah manuver dari FS yaitu surat pengunduran diri dan permintaan maaf bermaterai.

Menyikapi surat pengunduran diri adalah wewenang Kapolri untuk memberikan sikap seperti apa?. Apa ada pengaruhnya pada proses sidang KEPP?. Lalu siapa yang paling berhak untuk memberhantikan FS dari jabatannya?. Implikasi andaikan diterima surat pengunduran diri sebelum hasil KEPP?. Jika tidak PTDH hasil akhirnya, maka statusnya hanya mengundurkan diri. Hak pensiun masih melekat ada. Jika PTDH, maka bisa menganulir apa pun hasil diterima atau tidaknya surat pengunduran diri. Kuncinya memang dengan sanksi PTDH. Pelegalan surat pengunduran diri ruang lingkupnya hanya Kapolri. Tidak perlu sampai pada Presiden. Kalau mengenai surat permintaah maaf bermaterai bisa jadi sebagai cara agar mendapatkan keringanan hukuman. Bisa juga akan disampaikan sebagai bukti dalam persidangan setelah status Terdakwa.

Apapun polemik yang mewarnai sebelum dan saat sidang sampai malam ini. PTDH itu sanksi paling tepat. Demi marwah Polri itu idealnya agar tidak ada lagi faksi FS dan non FS di tubuh Polri. Mari tetap kawal bersama kasus ini. Semua belum selesai. P21 pun belum ada. Proses masih panjang.

 

Penulis : Saifudin atau Mas Say

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun