Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menolak Keras Wacana Penundaan Pemilu Tahun 2024

14 Maret 2022   21:58 Diperbarui: 14 Maret 2022   22:14 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.kompas.com

Bahkan KPU melalui Surat Keputusan KPU No.21 Tahun 2022 tertanggal 31 Januari 2022 sudah memberikan legalitas formal sebagai pijakan KPU untuk mengeluarkan aturan lebih teknis baik berupa PKPU maupun SE. Lalu jika Parpol dalam pembahasan yang diwakili fraksi sudah setuju, kenapa masih ada wacana agar ada penundaan?. Ini sangat aneh.

Lalu jika penundaan pemilu berhasil diagendakan?. Tentunya para pengambil kebijakan khususnya pihak pemerintah dan DPR mengebiri kebijakan yang telah dibuat bersama. Bukankah saat sidang komisi sampai penetapan waktu adanya pemilu tahun 2024 sudah ada perwakilan Parpol?. Jika sudah menyetujui, kenapa harus mengulang kebijakan lagi?.

Proses penundaan pemilu dalam format ketatanegaraan tentunya tetap ada celah untuk merealisasikan. Andaikan semua pengambil kebijakan siap dengan dampak negatif yang ada jika penundaan pemilu dijalankan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, Amandemen konstitusi. Kedua, Dekrit atau maklumat atau Perppu. Ketiga, Referendum atau konvensi bersama.

Sejak reformasi, UUD 1945 sebagai konstitusi negara telah diamandemen sebanyak 4 kali. Substansi dan isinya sebagai bagian paling fundamental adalah adanya pembatasan jabatan Presiden dan membatasi pelanggengan kekuasaan. Jika ingin jabatan Presiden ada penambahan berarti harus amandemen konstitusi yang ke-5.  

Walau dalam Pasal 37 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD 1945 ada celah. Dianggap suara mayoritas ada pada pemerintah, dalam praktek tidak akan mudah. Apalagi ada kelompok DPD di luar DPR. Merubah redaksional klausula khususnya dalam Pasal 7 UUD 1945. Wacana amandemen konstitusi bukan hal yang baru. Banyak kepentingan yang masuk untuk merubah konstitusi. Termasuk wacana terakhir adalah dengan memanfaatkan adanya Pokok-Pokok Halauan Negara (PPHN) sebagai celah dan jalan amandemen konstitusi.

Dalam sistem presidensial, tentunya Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan (Pasal 4 UUD 1945) memiliki peranan penting untuk mengatur urusan bernegara. Khususnya jika ada dalam keadaan bahaya atau darurat. Hal ini bisa dilakukan dengan "Dekrit atau Maklumat". 

Redaksional ini dalam historis ketatanegaraan pernah ada dan dilakukan (zaman Presiden Soekarno). Cuma pasca reformasi istilah itu harus ada dasar terlebih dahulu dalam bungkusan sebuah "Perppu" (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945). Tanpa adanya itu tidak bisa dilakukan.  Tidak memiliki kekuatan hukum.

Opsi lain dengan konsep "referendum" atau konvensi bersama antara pemerintah dengan rakyatnya. Hal ini pasca reformasi pernah ada saat penentuan status provinsi Timor Timur dengan pilihan ingin tetap integrasi dengan NKRI atau pisah sebagai negara sendiri. Konsep referendum ini tentunya juga harus ada pijakan. 

Presiden atau pemerintahan dapat mengeluarkan kebijakan sebagai dasar adanya panitia atau penyelenggara referendum. Bisa lewat PP, Perpres atau bahkan Keppres adanya sebuah kepanitiaan bersama sebagai tangan panjang pemerintah dengan rakyat untuk menentukan beberapa pilihan yang ada. Dalam konsep ini pilihannya hanya penundaan pemilu tahun 2024 atau tidak?. Jangan sampai melebar jabatan Presiden masih ingin bertahan sampai tahun 2024 atau tidak?.

Menolak penundaan pemilu tahun 2024

Fakta dan anasir politik tersebut, jika Penulis cermati tidak jauh dari hasil sintesa dalam David, Runciman. (2012). Politik Muka Dua: Topeng Kekuasaan dari Hobbes Hingga Orwell, diterjemahkan oleh Toni Setiawan dkk. Substansi "politik muka dua" identik dengan pemanfaatan celah kekuasaan belaka. Tanpa melihat realitas fakta di lapangan. Rakyat pasti jadi korban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun