Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

3 Senjata KPK Dilumpuhkan, Revisi UU KPK: Menunggu Sikap Presiden?

11 September 2019   19:47 Diperbarui: 11 September 2019   20:27 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi adalah musuh bersama. Semua pihak pasti ingin melakukan yang terbaik bagi KPK agar pemberantasan korupsi efektif. Robert Glitgaard merumuskan korupsi dalam sebuah proposisi matematis yaitu dengan rumusan: (C=M+D-A), Corruption = Monopoly Power + Diskretion by Official - Accountability. 

Inilah modus awal korupsi yang telah merajalela hampir di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua pihak baik dari DPR dan pemerintah pasti ada niat baik dalam pemberantasan korupsi. Sesuai tupoksinya. Persoalan pelemahan atau penguatan KPK itu sangat debatable. Memiliki basis argumentasi masing-masing.

Pada tanggal 5 September 2019, kesepakatan telah diambil oleh DPR. Revisi UU KPK jadi bagian usul dari DPR. Mayoritas menyetujui. Tidak masuk Prolegnas dahulu?

Langsung jadi usulan bagi DPR?. Inilah adalah siklus ketetanegaraan. Sebagai awalan sebelum pembahasan panjang. Draft materi Revisi UU KPK telah diserahkan pada Presiden sebagai pemegang utama dalam pemerintahan. Presiden masih memahami dan mengkajinya?.

Masalah materi muatan draft UU yang jadi problematik? penyidik hanya dari Polri, penuntutan wajib koordinasi dengan Kejaksaan, penyidik independent, kantor KPK tdk lagi ada di tiap provinsi, KPK bukan lembaga independent, pembatasan hanya 1 tahun dlm penanganan perkara. Kalau yang lain msh wajar saja. 

Dalam pandangan saya, hal tersebut sangat krusial. Perlu kajian dan evaluasi detail. Perlu melibatkan publik dalam public hearing. Suara publik jangan dilupakan. Bahkan jangan sampai tidak dihiraukan. Publik merupakan bagian civil society sebagai tool of control. Sebagai suporting system agar tercipta good governance dalam bernegara.

Berkaitan dengan persoalan revisi tersebut, saya hanya fokus terhadap 3 hal saja. Ada 2 senjata ampuh KPK bersifat formal adalah 1. Kewenangan penyadapan, 2. Tidak bisa mengeluarkan SP3. 1 senjata mematikan koruptur bersifat informal adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT). Inilah 3 senjata KPK yang selama ini efektif dalam pemberantasan korupsi. Memang idealnya Revisi UU KPK tidak diperlukan. Masih relevan menggunakan UU KPK saat ini.

Berkaitan dengan Penyadapan dan SP3 diatur dalam UU KPK (No.30 Tahun 2002). Bahkan SP3 juga telah dikuatkan dalam Putusan MK. Berkaitan dengan OTT, walau tidak ada dalam UU KPK. Bisa saja KPK sebagai lembaga mengeluarkan aturan. 

Sifatnya internal. Itu adalah bentuk atribusi dari lembaga. Jenjang hierarki kebijakannya juga diakamodir dalam UU tentang PPP (No.12 Tahun 2011). Ini adalah legitimasi bagi KPK. Lalu sekarang?. Banyak meributkan persoalan ini. Dengan berbagai cara akan dihilangkan. Tiba-tiba munculah makhluk "Dewan Pengawas" untuk memakan dan memangkas 3 senjata tersebut.

3 SENJATA KPK

Adanya 3 senjata ini adalah ukuran hidup dan matinya KPK. Bagi saya, fokus dalam pengamanan senjata ini saja. Senjata 1 untuk memastikan terjadinya kronologi hukum. 

Kepastian dalam cari alat bukti. Senjata 2 untuk memberikan efek jera bagi koruptur. Senjata 3 untuk memastikan telah terjadi korupsi secara nyata. 3 senjata tersebut tidak boleh dihilangkan atau dikurangi sedikit pun. Terlepas yang lain masih ada masalah. 3 ukuran ini adalah nafas, jantung dan hati dari KPK. Ibarat tubuh, tanpa ada ketiganya?. Selesai sudah kan!.

POLEMIK DEWAN PENGAWAS

Bagi saya, tidak perlu. Buat apa?Tidak ada jaminan independent. Justru telah dan akan meyakinkan kinerja KPK ada intervensi. Kalau takut tidak ada yang awasi KPK?, sehingga harus ada Dewan Pengawas?. Ini adalah alibi pembenaran yang gagal paham. Bukankah sudah ada pengawas internal dan eksternal. Internal siapa?

Ada penasehat internal KPK. Ini saja dikuatkan atau ditambah kewenangan. Eksternal?. Sudah ada Rapat Dengar Pendapat (RDP)antara KPK dengan DPR sebagai mitra kerja antara KPK dan DPR. Bahkan publik ikut menilai KPK. Saat inilah KPK sudah dievaluasi dan diawasi. 

Lalu Dewan Pengawas akan melakukan pengawasan seperti apa?. 3 senjata KPK harus minta izin Dewan Pengawas. Walau Dewan Pengawas ini nantinya akan independent dan ada perekrutan sendiri, tetap tidak efektif. 

Tidak ada jaminan. Jika ada Dewan Pengawas, maka telah mentransformasi KPK bukan lagi lembaga independent. Dewan Pengawas adalah legitimasi transformasi perubahan fungsi dan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. Bukan lagi lembaga anti korupsi.

INDIKASI BARTER DENGAN RUU KUHP

Bisa jadi memang telah terjadi barter dengan RUU KUHP. Kenapa?. Proses begitu cepat. Langusng disahkan dalam paripurna sebagai revisi usulan dari DPR. Materi muatan dalam RUU KUHP juga masih banyak persoalan. 

Terkesan ditutupi. Menghambat penegakan hukum dan berkorelasi dengan UU KPK. Apalagi jika dihidupkan lagi tentang Pasal Penghinaan Presiden (inikah barter?). Bagi saya, ini kan bahaya bagi demokrasi. Jika memang terjadi barter, maka operasi senyap tersebut benar terjadi.

LEGITIMASI KEWENANGAN PRESIDEN

Presiden adalah benteng akhir. Terlebih lagi memegang koalisi Parpol mayoritas. Pun UUD 1945 sebagai konstitusi melindungi. Walaupun usulan atas inisiatif DPR, maka pembahasan bersama tetap dengan pemerintah.  

Tidak dapat terpisahkan. Korelasi Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20. Lebih detail lagi Pasal 20 ayat (4). Bacaan ayat (4) tersebut. Jika Presiden "IYA", maka revisi UU KPK sah. Jika "TIDAK", maka revisi UU KPK tidak sah. Sederhana saja jika Presiden memahaminya.  

Andaikan saja, Presiden diam?, maka ayat (5) sejak 30 hari resmi secara otomatis jadi UU. Jeda sebelum 30 hari?atau jika sudah lewat? jika Presiden niat, maka berhak mengeluarkan Perppu (Pasal 22 ayat (1)) dapat dikeluarkan untuk mengganti UU yang telah disahkan. 

Inilah daya tawar betapa kuatnya sistem Presidential dan kewenangan besar bagi Presiden. Apalagi mayoritas suara 560 anggota DPR ada di koalisi pemerintahan.

Presiden adalah benteng akhir sah dan tidaknya Revisi UU KPK. Itu konsekuensi logis Sistem Presidential. Itu implikasi rasional konsep demokrasi. Keberanian Presiden bersikap adalah linear strong leadership dalam pemberantasan korupsi. Sahnya Revisi UU KPK adalah sama dengan bunyi lonceng korupsi menggurita. Sahnya Revisi UU KPK adalah sama dengan padamnya api pemberantasan korupsi. Mari kita tunggu bersama sikap dan political will Presiden selanjutnya akan seperti apa?

Penulis : Saifudin/Mas Say

Akademisi, Praktisi (Constitutional Lawyer), Pakar Muda Hukum Tata Negara, Aktivis, Pegiat demokrasi dan Pegiat anti korupsi (pada "Lembaga Demokrasi Anti Korupsi, DISKUSI")

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun