Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Faktanya Anak-anak Petani Enggan ke Ladang

21 Juni 2021   17:31 Diperbarui: 21 Juni 2021   17:50 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani kampung (minews.id)

Membaca puisi kolaborasinya Genduk dan Simbok di Inspirasiana. Membawa angan saya ke kampung halaman. Di Gunungkidul nun jauh di sana.

Sampai saat kuliah. Setiap mengisi biodata di kolom pekerjaan orang tua. Saya selalu menulis petani.

Jangan bayangkan petani di luar sana yang mempunyai puluhan ribu hektar tanah pertanian. Bapak hanya punya beberapa petak sawah tadah hujan.

Setahun hanya bisa ditanami padi sekali. Wilayah Gunungkidul bagian selatan curah hujannya rendah. Sehingga menanam padi hanya pada puncak musim penghujan.

Selebihnya 'ladang' ditanami palawija. Umumnya adalah kacang tanah dan kedelai. Kalau di kebun diselang-seling di antara tanaman singkong.

Uniknya (barangkali hanya ada di kampung saya) ketika musim tanam. Ketika saya masih sekolah SD. Ada libur pertanian. Harapannya anak-anak membantu orang tuanya mengerjakan sawah.

Sampai sekolah di tingkat SMA. Saya terbiasa pergi ke sawah. Mencangkul, menebar bibit atau menyiangi gulma. Bahkan membawa hasil panenan dengan cara memikul.

Bagaimana dengan anak-anak sekarang?

 Anak Muda Enggan Ke Ladang

Pertanian modern (republika.co.id)
Pertanian modern (republika.co.id)

Selepas tahun 80an. Minat anak-anak petani untuk menggarap ladang mulai menurun. Sebagian besar beralasan tidak sumbut. Tidak sepadan antara hasil dan biaya yang dikeluarkan.

Seperti yang saya katakan di atas. Pertanian di Gunungkidul bagian selatan hanya mengandalkan air hujan. Kalau sepenuhnya bergantung kepada hasil pertanian. Bisa-bisa tidak bisa makan.

Kepemilikan lahan pertanian yang minim adalah alasannlainnya. Pun harga komoditi pertanian yang semakin menurun. Menyebabkan kaum muda enggan berladang.

Masih ditimpa dampak globalisasi. Jadi petani bukan pekerjaan yang menjanjikan 'gengsi'. Bahkan menurunkan pasaran status seorang pemuda.

Urbanusasi menjadi pilihan utama. Mengadu nasib di kota besar. Beruntung bagi generasi 'kolonial'. Tahan banting dan siap kerja apa saja.

Menjadi persoalan untuk yang bermodalkan nekad. Apalagi kalau masih diimbuhi milih-milih kerjaan. Alamat menjadi Panji Klanthung.

Menumbuhkan Minat Bertani

Yang muda yang bertani (jabarexpres.com)
Yang muda yang bertani (jabarexpres.com)

Menarik sekali kalau saat ini mulai tumbuh komunitas-komunitas petani muda. Tentu saja diperlukan dukungan. Bukan saja hanya dukugan moril. Terlebih adalah sokongan modal.

Perlu dikenalkan cara-cara bertani modern. Semacam pertanian hidroponik, rumqh kaca atau pertanian organik. Bahkan kalau dimungkinkan dengan pemanfaatan mekanisasi pertanian.

Sesungguhnya desa menyimpann potensi yang sangat besar. Apabila dikembangkan secara modern. Bisa menaikkan 'gengsi' petani kampung.

Semoga.

Jkt, 210621

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun