Aku hanya bisa menunduk ketika bapak menanyakan kesediaanku dinikahkan dengan lelaki pilihannya.
Yang ada dalam benakku adalah bapak yang badannya sudah begitu ringkih. Setahun terakhir ini bapak sakit-sakitan, sudah beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Â Kata ibu sakitnya bapak karena memikirkan aku yang sudah dua tahun menjadi janda. Â Bapak kasihan melihat aku membesarkan du anak sendirian.
Aku jadi teringat peristiwa dua puluh tahun yang lalu. Â Ketika itu aku baru lulus SMA ketika bapak minta pendapatku tentang lamaran seorang saudagar kaya yang memintaku menjadi menantunya.Â
"Kamu anak perempuan kesayanganku nduk", kata bapak.
"Makanya bapak cariin kamu suami dari keluarga kaya raya", sambungnya.
Menurut bapak umurku sudah cukup untuk memulai membina keluarga. Â Bapak bilang cinta akan tumbuh kalo kami sudah menikah dan tinggal serumah. Â Hidup berkecukupan harta akan membuat cinta kami bersemi.Â
Lagi pula calon suamimu akan mengangkat derajad keluarga kita juga. Keluarga kita akan dihormati masyarakat seperti warga menghormati keluarga calon mertuamu. Â begitu bapak panjang lebar membujukku untuk menerima lamaran seorang laki-laki yang tidak aku kenal sama sekali.
Aku begitu menyanyangi orang tuaku. Â Mereka telah membesarkanku dengan keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Pikiranku hanya ingin membalas budi orang tua ketika akhirnya aku harus menerima untuk dinikahkan dengan laki-laki pilihan bapak.
Kami menikah dengan pesta yang sangat meriah. Hidangan makanan mengalir tiada henti-hentinya untuk menyenangkan para tetamu. Hiburan malam pun diadakan selama tiga malam tiada henti.Â
Malam pertama para tamu disuguhi klenengan gamelan dan malam berikutnya disuguhi pementasan wayang kulit. Malam terakhir suamiku secara khusus minta kepada ayah mertuaku nanggap orkes dangdut.