Mohon tunggu...
Masrul Purba Dasuha
Masrul Purba Dasuha Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Saya Masrul Purba Dasuha, SPd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nagur, Kerajaan Kuno Di Pulau Sumatera

29 Januari 2016   04:59 Diperbarui: 11 Oktober 2020   06:34 7308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 16: Liang Bokkou, merupakan tempat tinggal dari penduduk Nagur sebelum mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa.

Jasad para penguasa Nagur, mulai dari Darayad Damanik hingga 45 keturunan sesudahnya ditempatkan dalam peti kayu bernama Batang Tahuran. Peti jenazah ini terbuat dari kayu gelondongan berbentuk bulat yang dilubangi dengan pahat, usai jenazah dimasukkan ke dalam peti lalu diletakkan dalam posisi miring di sebuah gubuk yang telah dipersiapkan. Posisi sebelah kaki lebih rendah dan di bagian ujung terdapat lobang yang dihubungkan dengan sebilah bambu sebagai selang, bagian bawah dihubungkan dengan lobang ke tanah. Posisi kepala diletakkan lebih tinggi, pada lobang yang dihubungkan dengan bambu lalu dihubungkan ke ruang perapian di bagian bawah agar asap dapat masuk ke dalam peti jenazah. Sesuai kesepakatan jenazah itu kemudian dibiarkan dalam peti hingga beberapa waktu, setelah jasadnya menjadi kerangka lalu dipindahkan ke dalam Batang Tahuran berukuran + 2 hasta lalu ditempatkan di bagian depan rumah dekat pintu masuk (luluan). Pihak keluarga kembali berembug untuk memindahkan kerangka tersebut ke dalam Batang Tahuran Batu (peti batu yang telah dilubangi dengan pahat) untuk ditempatkan di dalam Liang Silaon yang berada di Sokkur. Prosesi terakhir, setelah seluruh tulang belulangnya remuk menjadi abu, abu tersebut lalu dibungkus dengan kulit kayu gaharu (alim) oleh saudari ayahnya (amboru) untuk dimasukkan ke dalam goa kering (Liang Nakorah) di Liang Sigundaba. Gua ini merupakan tempat pemujaan bagi leluhur  Nagur generasi awal. Selain ini ada lagi sebuah gua bernama Liang Sigundaba Parpogeian yang menjadi lokasi pemujaan para panglima dan hulubalang. Wafatnya Raja Nagur generasi ke 46 menjadi akhir dari kejayaan Nagur, seiring dengan itu runtuhlah bilik-bilik tempat penyimpanan kerangka dalam goa kering di Liang Silaon, maka kerangka tujuh generasi sesudahnya tidak lagi ditempatkan dalam goa kering melainkan hanya ditaruh dalam Batang Tahuran Batu. Upacara adat (horja bolon) yang diselenggarakan sekali dalam 7 tahun, terakhir diadakan di penghujung abad 19.

Gambar 17: Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar 90x90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter. Setelah itu akan ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4x3 meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, setelah itu kembali menemui lorong sebesar 1x 90 centimeter sepanjang 6 meter.

Di Sorba Jahei ditemukan kepingan batu nisan berbentuk trisula dekat sebuah makam di kawasan perkebunan P.T. Good Year, terdapat ukiran pinarmombang pada trisula ini yang melambangkan mahaguru perwujudan dari Dewa Ganesha yang mampu mengatasi berbagai masalah di tengah masyarakat. Ukiran bagian bawah adalah jombut uwou melambangkan burung merak yang mewakili Dewa Kumara (dewa perang dan penolak bala) yang berarti bentuk penghormatan dan penghargaan. Bila dilihat dari bentuknya, patung ini sepertinya lebih tua dari situs peninggalan Buddha yang ada di Portibi Padang Lawas Utara. Di wilayah ini pada zaman dahulu menjadi benteng pertahanan (hubuan) Kerajaan Nagur, benteng pertahanan ini dikelilingi oleh parit yang dibentuk dengan cara menaburkan serbuk racun Sibiangsa, tanah akan longsor dengan sendirinya bila ditaburi serbuk ini hanya pintu gerbang (horbangan) yang tidak ditaburi serbuk sibiangsa. Di kawasan ini ditemukan banyak kuburan batu berusia tua dan juga ukiran aksara kuno, aksara ini berbeda dengan aksara Simalungun yang kita kenal sekarang ini dan kemungkinan usia aksara ini lebih tua. Selain itu di sekitar patung dan kuburan batu tersebut terdapat sejumlah peluru umbalang (sejenis alat pelontar yang diayun).

Kemudian kompleks megalithik batu gajah peninggalan agama Buddha yang telah diteliti oleh tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 Masehi. Situs ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun yang diapit dua aliran sungai, Bah Kisat dan Bah Sipinggan. Pada masa Kerajaan Nagur, kompleks ini menjadi tempat pelaksanaan upacara pemujaan roh leluhur. Untuk mempermudah menuju setiap undakan maka dibuatlah tangga, bentuk-bentuk binatang tertentu memiliki makna simbolik masing-masing. Sedangkan ceruk-ceruk di dinding dan sekitar batu agasan diperkirakan merupakan tempat peletakan sesaji atau persembahan. Jenis-jenis binatang yang dipahatkan adalah binatang yang hidup di daerah sekitar situs, yaitu gajah, harimau, dan ular. Bangunan berundak terdiri dari unsur pahatan di atas permukaan batu berupa relief, patung, dan kubur. Di lokasi yang sama terdapat juga situs Batu katak, Batu Ulog, Batu Losung, dan Batu Karang yang seluruhnya berjumlah 1 buah. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan sebagai daerah larangan atau Natuurmonument pada tahun 1924, surat bersertifikat Zelfbestuur Besluit 1924 No. 24 tanggal 16 April 1924. Pada sertifikat diterangkan luas area 0,80 ha, pihak pemerintah telah menetapkan daerah tersebut menjadi pusat Cagar Alam dan saat ini menjadi wilayah kerja Seksi Wilayah Konservasi II Rantau Prapat, Balai KSDA Sumatera Utara II.

Relik-relik peninggalan Nagur lainnya, masih dapat dijumpai berupa konstruksi tua bekas kerajaan Nagur di Pamatang Kerasaan, yang telah dilakukan ekskavasi oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Hasil ekskavasi yang dilakukan Asisten Residen Simalungun J. Tideman di sekitar Buntu Parsaturan di aliran kanan sungai Bah Sawa (daerah Panei) arah hulu dari Panei, dia menemukan sebuah patung batu dalam sikap duduk (patung itu kini berada di Balai Pengadilan Pematang Siantar). Demikian juga di desa Bah Bolak juga ditemukan bidak batu kembar yang merupakan istri dan anak raja Nagur (Holt 1967:26;Tideman 1922:51). Kedua Artefak ini masih tersimpan rapi di Museum Simalungun di Pematang Siantar. Keberadaan patung batu catur ini mengingatkan permainan catur yang pernah dilakukan oleh Tuan Sahkuda Bolag dengan Tuan Batangiou dan juga antara Tuan Silou Malaha dengan Tuan Batangiou. Adapun Tuan Sahkuda Bolag dan Tuan Silou Malaha adalah para pembesar Kerajaan Nagur.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Kerajaan Nagur adalah salah satu kerajaan kuno yang pernah berjaya di Aceh dan Sumatra Utara yang diperintah secara dinasti oleh golongan marga Damanik dari suku Simalungun. Hingga hari ini belum diketahui secara pasti kapan berdirinya kerajaan ini, namun yang pasti pada abad 6 kerajaan ini sudah mengadakan kontak perdagangan dengan Tiongkok. Eksistensi Nagur selalu mengemuka dari zaman ke zaman hingga masuknya era kolonialisme Belanda, perjalanan sejarahnya secara apik direkam oleh para penjelajah dan pengelana asing sehingga pemberitaan mengenai Nagur hingga hari ini dapat kita ketahui. Ditambah adanya tradisi lisan mengenai Nagur yang berkembang di kalangan masyarakat Simalungun semakin memperkokoh keyakinan kita akan eksistensi kerajaan ini. Penulis berkeyakinan kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di pulau Sumatera yang berdiri jauh sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Namun, sayangnya selama ini eksistensinya kurang begitu terekspos akibat kurangnya penggalian arkeologis dan juga ekskavasi ke lokasi peninggalan kerajaan tersebut. Penulis berharap tulisan ini dapat menambah pengetahuan baru bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Nagur dan juga menjadi perhatian bagi para sejarawan dan arkeolog untuk menelusuri lebih mendalam mengenai keberadaan kerajaan Nagur. Dan kiranya tulisan ini dapat semakin membangkitkan kesadaran warga Simalungun akan ketinggian peradaban leluhurnya. Khusus kepada pemerintah Kabupaten Simalungun, penulis berharap dengan tulisan ini mereka semakin peduli terhadap situs-situs Nagur yang saat ini banyak terbengkalai dan menyadari bahwa Nagurlah yang menjadi tonggak awal terbentuknya Kabupaten Simalungun.

Daftar Pustaka:

1.Battuta, Ibnu. Travels in Asia and Africa, 1325-1354. Translated by H.A.R. Gibb. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. 1957

2. Damanik, Amin dan Damanik, Jaramen. Sidamanik (Turiturianni Oppung Nai Horsik). Pamatang Siantar: 1976

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun