Mohon tunggu...
Masril H. Rambe
Masril H. Rambe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pencinta Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyusuri Sunyi

3 Februari 2023   09:00 Diperbarui: 3 Februari 2023   09:19 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kesengsaraan, suatu kemisterian hidup sangat menggelisahkan hati. Dan yang kupertanyakan berulang kali kepada wajahku yang terlukis di sungai.

Kutanyakan kepadanya, "Kaukah yang dipanggil di kampung-kampung itu, lantas kau jawab. Siapa nama, pada wajah dan jiwa? Yang punya persepsi pada pengenalan dunia manusia. Benarkah penulisan atasmu pada lembaran kertas-kertas, kartu identitas atau di semua arsip negara ? Itukah perbedaanmu. Dirimu?"

Benarkah aku manusia.

"Dengan perawakan manusia dan nama yang menempel khas. Dalam kenyataan bentuk, itukah yang hakiki?"

" ika mengesampingkan sementara opsi atas nama dan bentuk lain, dalam khasanah jenis segala makhluk bumi yang bertebaran. Maka jawablah aku, atas pertanyaan klasik ini. Pada asumsi bagusnya nama, perawakan, dan keabadiannya. Dan konsekuensi kemanusiaan di baliknya. Adakah nama dan bentuk mengharuskanmu mengerjakan sesuatu? Itukah makna aktivitas?"

Atau, paling tidak, mungkin ada orang yang memberi perhatian istimewa pada nama dan bentukmu, mungkin juga bumi. Adakah?

Wajah itu hanya diam, dan dipermainkan riak air yang menggetarkan senyumannya.

Semua yang kupertanyakan hanyalah kenyataan yang sudah terjadi. Siapapun akan mengetahui jawabannya. Karena kemanusiaan akan mengajari berbagai kefahaman dalam diri, walau kefahaman yang lebih hakiki harusnya masih ada. Pertanyaan seperti itu akan dijawab dengan kalimat yang singkat; karena aku sudah diciptakan oleh KeagunganNya sebagai manusia.

Namun yang sering menghantarkanku dalam kesengsaraan adalah keterciptaanku sebagai manusia sudah mengungkapkan keberadaan masa depan, dan banyaknya kemisteriusan yang kualami dalam jiwaku.

Seperti aku pernah memburu sang misteri dengan pencapaian-pencapaian. Tapi pencapaian itu masih gelap dan samar. Aku masih kehilangan jejak jiwaku yang terus-menerus berangkat membawa nyanyiannya; suatu nyanyian yang menyerupai ratapan kepada esok hari. Aku belum mengenali wajah esok meskipun sudah kutunggu di pintu fajar kedatangannya. Karena apa yang kulihat adalah bias matahari yang membuatku tetap pucat, karena doa-doa yang diminta para jiwa tak tampak bentuk hadirnya. Aku ingin menggugat pagi yang terus datang, akankah ia membawa cendera mata masa depan karena itu sudah di pesan selama berabad-abad di bumi ini. Tapi pada kenyataannya sang pagi mengatakan tunggulah esok, dan esok pula.

Kemarin di kampungku aku melihat seseorang yang mencoba menduga masa depan. Ia sudah pelajari tentang kemisterian dan peramalan, seperti palmystri, astrologi dan numerologi, dan penduduk kampung kami banyak pula yang menanyakan hal ihwalnya. Sungguh setiap orang selalu ingin berdiri di depan cermin masa depan dengan senyum, cantik, dan gagah perkasa, serta akan menghiasi dirinya dengan daya upaya dan kekuatan. Seperti aku juga menemukan imajinasiku pada esok; dan aku melihat kesedihanku di sana. Mengapakah, dan haruskah kesedihan itu akan benar-benar ku temui kelak. Lalu kapankah pintu pagi akan membuka tirai kepahamanku tentang ruang masa depan yang menyiapkan tempat untukku, dan memberi kunci ilmu yang bisa memberi cahaya pada mata dan jiwaku untuk mendambakan akhirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun