Mohon tunggu...
Rama Dio Syahputra
Rama Dio Syahputra Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pelajar Indonesia di Perancis.

Saya senang memaknai dunia manusia yang hanya sementara ini. Di antara kebebasan dan keinginan, saya menghakimi makna itu dengan ditemani diri saya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sendiri di Alam yang Sunyi

26 Mei 2020   19:33 Diperbarui: 26 Mei 2020   19:24 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
De La Croix du Nivolet - Picture By : Rama Dio Syahputra

Bagiku berada di alam sendirian adalah suatu kedamaian yang belum mampu kujelaskan kepada siapa pun. Ketika sedang berada di tengah hutan, aku dapat mengerti apa itu kesunyian, ketika sedang berada di atas puncak gunung, aku belajar untuk merendahkan diri, dan ketika sedang berada di antara tantangan, aku dapat menemukan diriku sendiri.

Kala musim sedang dingin dan aku memutuskan untuk mendaki salah satu gunung yang tidak jauh dari tempat tinggalku . Matahari bersinar terang sekali kepadaku yang baru saja pulang kuliah. Biasanya hari semacam itu hanya terjadi tiga sampai lima kali di sepanjang musim dingin. 

Di hari yang sudah hampir sore itu angin berhembus cukup pelan, tidak ada awan mendung, dan salju di atas gunung pun tidak terlihat tebal. Cuaca benar-benar mendukungku yang ingin pergi berpetualang.

Sampai hari ini, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa gunung-gunung di Perancis memiliki kebersihan yang lebih terjaga ketimbang gunung-gunung yang ada di Indonesia. 

Aku pun tidak tahu mengapa bisa seperti itu. Entah karena kesadaran manusia di sini yang begitu tinggi atau memang bangsaku saja yang tidak menghormati alam itu sendiri.

Setelah berjalan lebih dari empat jam, aku sampai di hutan belantara. Pepohonannya sudah tidak berdaun lagi. Putihnya salju sudah mulai terlihat di atas tanah yang lembap. Terlepas dari tubuh yang letih, pikiranku masih mampu menikmati keindahan sekitar hutan itu. Dan paru-paruku mengucapkan terima kasih karena bisa menghirup udara begitu bersih.

Musim dingin membuat matahari terbenam menjadi lebih cepat dari biasanya. Baru pukul empat sore saja, sinarnya sudah tidak bersinar terang. Dan sambil di temani bulan yang baru saja terbit, aku masih melanjutkan pendakian di bawah gelapnya malam.

Ketika matahari sudah tertidur, udara menjadi sangat dingin. Selagi melewati ladang yang luas, aku tidak merasakan apa pun selain keheningan. Kabut putih mulai membatasi pandanganku. Ia begitu tebal dan menampar keras wajahku. Dan dengan lampu kecil di tangan, aku berusaha melangkah tanpa ragu agar bisa melewati ladang luas itu secepat-cepatnya.

Tidak lama setelah aku bertarung melawan angin dan kabut, langit menjadi cerah kembali. Cahaya bintang mulai menatapku dari kejauhan. Seketika aku tersadarkan akan kemegahan alam semesta. Di antara kesendirian dan kemegahan itu, aku benar-benar merasakan kehidupan.

Biarpun aku sudah hampir sampai di puncak. Namun, masih tersisa satu tebing tinggi lagi yang harus kulewati. Jika aku mengatakan bahwa tebing itu tidak curam, maka aku berbohong. Meskipun sudah berkali-kali aku telah berhasil melewatinya, namun baru di kala itu aku memanjatnya di malam hari. Ada sedikit rasa ragu di dalam diri yang membuatku berpikir dua kali. Hanya saja bila aku berputar balik, sepertinya perjuangan tubuh letihku akan menjadi sia-sia.

Batu-batuan di tebing itu tidak sepenuhnya padat, ada beberapa yang terasa begitu lunak dan ada juga yang seperti bongkahan kapur. Tingginya pun tidak lebih dari enam kali orang dewasa. Sambil menjaga keseimbangan tubuh, aku memanjatnya dengan sangat hati-hati. Sesekali aku mendongakkan kepala ke atas untuk melihat seberapa jauh lagi tebing itu tersisa. Dan ketika melihat ke bawah, aku tahu bahwa terjatuh bukanlah pilihan yang baik.

Aku sudah hampir melewatinya. Jari-jari tanganku mulai menjadi karena dingin. Kedua kaki dan tanganku pun terus bergantian untuk menjadi titik tumpu berat badan. Akibat gelapnya malam, mataku bersikeras sekali untuk mencari setiap pijakan. Lalu di saat seluruh berat tubuhku berada di kaki kiri, aku berusaha menginjakkan kaki kananku di sebuah pijakan kecil yang tidak lebih besar dari satu telapak kaki bayi. Namun, sayangnya pijakan itu tidak kuat menahan beban tubuhku.

Aku terjatuh. Tanganku mencoba menjauhkan seluruh tubuhku dari tebing itu, namun sayangnya aku terlambat. Di momen seperti itu, kesadaran berpikir sudah sulit untuk mengambil alih situasi, artinya hanya tubuh yang bisa menyelamatkan diri sendiri. Semua terasa cepat sekali. Dalam hitungan detik, aku dapat merasakan gravitasi yang sudah siap menghancurkan tubuhku dan di saat yang bersamaan mataku hanya bisa melihat bayang-bayang cahaya lampuku sendiri.

Sampai hari ini aku hanya bisa mengingat apa yang terjadi setelah aku terpeleset dari tebing itu. Semuanya hanya hitam dan gelap sekali. Aku tidak merasakan apa pun sampai angin dingin membangunkanku. Dengan tubuh yang masih berbaring di tanah, aku hanya bisa merasakan pusing di kepala dan rasa sakit yang begitu luar biasa di pergelangan kaki kiriku. Perlahan-lahan aku berusaha untuk bangun dan bangkit. Lalu ketika melihat jam di tangan, aku benar-benar terkejut sekali.

Mungkin jika jaket tebal dan celana hangatku tidak ada, aku sudah mati kedinginan. Hampir delapan jam kesadaranku hilang. Entah apa yang bisa membuatku terbangun lagi dan entah apa yang membuatku tidak mematahkan tulangku sendiri. Sungguh aku pun masih bertanya sampai hari ini.

Aku tidak merasakan kesedihan, ketakutan, atau pun kekecewaan. Apa pun yang terjadi aku tidak menyalahkan siapa pun selain diriku sendiri yang kurang hati-hati. Ketika kesadaranku mulai kembali sepenuhnya, aku tersenyum dan berterima kasih kepada diriku sendiri. Mataku masih bisa melihat keagungan cahaya bintang yang menyinari dini hari dan di saat yang bersamaan, aku masih merasakan sedikit kedamaian.

Pada akhirnya, aku berusaha turun dari gunung itu, namun kali ini aku tidak sendirian, melain ada rasa sakit di kaki kiri yang menemaniku. Di sepanjang perjalanan turun, aku mencoba untuk memaknai kejadian itu. Mungkin jika ada yang mendengar cerita ini, aku akan dihakimi sebagai seseorang yang ceroboh dan tidak tahu diri. Namun bagiku tidak seperti itu.

Ketika alam memberikan pelajaran tentang makna kehidupan, aku akan selalu berada di sana untuk mendengarkan. Sekalipun harus terluka karena kebodohan diri sendiri, namun aku tidak pernah memiliki penyesalan sedikit pun. Jika aku tidak terjatuh dari tebing itu, mungkin aku tidak akan menjadi manusia yang mengerti makna kehidupan, dan jika aku tidak kembali pulang, mungkin saja cerita ini tidak mungkin ada untuk didengarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun