Mohon tunggu...
Rama Dio Syahputra
Rama Dio Syahputra Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pelajar Indonesia di Perancis.

Saya senang memaknai dunia manusia yang hanya sementara ini. Di antara kebebasan dan keinginan, saya menghakimi makna itu dengan ditemani diri saya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pergi untuk kembali

21 April 2020   21:05 Diperbarui: 23 April 2020   19:43 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit senja di kota Paris Picture By : Rama Dio Syahputra

- Kepergian dan kedatangan

Hari demi hari aku merasa semakin rapuh dan rentan. Tubuhku kaku sekali, bernafas pun menjadi sudah tidak ringan lagi. Dulu berlari ke sana dan ke sini, namun sekarang lebih baik jalan kaki. Walaupun begitu, dunia manusia belum berubah sedikit pun, masih tetap dipenuhi dengan ambisi dan keserakahan. Sedangkan aku sudah cukup lelah dengan kehidupan. Perjalananku sebentar lagi akan berakhir. Sudah banyak sekali yang telah kualami bersama diriku sendiri dan sudah banyak juga pertanyaanku tentang kehidupan ini yang terjawab. Akan tetapi, aku masih memiliki beberapa hal yang harus diselesaikan.

Banyak yang bilang kalau setiap orang harus hidup berpasangan dan juga berkeluarga, lalu setelah itu membuat keturunan untuk mewariskan segalanya yang sudah dipelajari dari kehidupan. Sebagai seorang laki-laki aku telah berhasil melakukan itu. Sekarang semua anak-anakku sudah memiliki keluarga mereka masing-masing. Karena itu segala tanggung jawabku sebagai seorang ayah sudah selesai. Kedua anakku sudah mampu menciptakan pilihan di dalam kehidupan dan cucuku satu-satunya pun sedang tumbuh di dunia yang sudah berubah ini. Artinya, tidak ada lagi orang yang menahanku untuk pergi dan menghabiskan waktu terakhirku sendirian, termasuk istriku tercinta.

Tepat di bulan Oktober ini, umurku sudah genap enam puluh delapan tahun. Dokter bilang tahun ini adalah yang terakhir untukku, tepatnya tiga bulan lagi. Aku tidak kesal, marah, atau pun kecewa ketika ia menghakimi tanggal kematianku. Namun, aku bingung dengan apa yang harus kulakukan dengan sisa waktu yang kumiliki. Sampai hari ini pun tidak ada yang tahu pasti tentang penyakit yang menyerang paru-paruku ini. Dan juga tidak ada seorang pun yang sadar bahwa aku akan mati dalam hitungan bulan. Rasanya akan merepotkan sekali jika anak atau cucuku tahu kalau kakeknya sedang menghitung mundur kematiannya. Aku hanya tidak ingin membuat mereka khawatir.

Apa yang akan dilakukan seseorang jika ia akan mati sebentar lagi? Mungkin kalau Clara masih hidup, dia akan memintaku untuk menghabiskan tiga bulan yang kumiliki bersama anak-anak. Bagi istriku, tidak ada yang lebih penting selain keluarganya dan aku pun berpikir demikian. Tetapi, ada sebagian dari diriku yang mengatakan bahwa sudah saatnya untukku tenggelam di dalam masa lalu, serta menghidupkan kembali segala peristiwa duka dan bahagia yang telah kulewati di dalam kehidupan. “Maafkan aku Clara, sepertinya aku harus meninggalkan anak-anak untuk keinginanku yang terakhir ini. Semua ini demi kita.” Ungkapku di depan makamnya.

Terlepas dari segala kebingunganku dalam menghabiskan waktu yang tersisa, aku selalu tahu kemana harus pergi. Sejak lama aku selalu ingin kembali ke benua dimana aku menghabiskan separuh umurku. Dan sebelum Clara meninggalkan dunia, aku pernah berjanji kepadanya untuk mengunjungi lagi tempat pertama kali kami berdua bertemu, yaitu di salah satu gunung di Perancis timur. Ladang hijau yang membentang luas adalah saksi cinta kami bersemi untuk yang pertama kalinya. Aku tidak pernah bisa melupakan ladang hijau di bukit itu, begitu juga pohon dimana kami berdua berteduh. Di antara rintik-rintik hujan dan angin dingin di musim gugur, aku berkenalan dengan gadis berdarah Perancis yang mengubah hidupku selamanya.

Bagaimana pun juga, semua kenangan indah itu sudah berlalu begitu saja. Sedikit demi sedikit pikiranku sudah tidak mampu lagi mengingatnya dengan sempurna. Memori atau ingatan yang perlahan pudar membuatku kesal dengan diriku sendiri. Aku tidak ingin melupakan setiap kejadian di dalam hidupku, apa lagi momen berharga ketika aku bersama perempuan yang paling kucinta. Waktu tidak hanya membunuh tubuhku saja, ia juga membunuh segala kenangan yang ada di pikiranku secara perlahan. Dulu Clara pernah bilang: Kamu memang tidak akan mampu hidup selamanya, namun tulisanmu bisa. Aku tidak ingin mati di dalam kenangan orang-orang yang kucinta, oleh sebab itulah aku menulis ini semua.

Akhirnya, setelah berpikir dan merenung aku memutuskan untuk pergi ke Perancis selama tiga bulan. Dari rumah kecilku di Selo, aku langsung menuju Jakarta agar bisa berpamitan dengan anak-anakku. Semuanya bertanya-tanya mengapa aku harus pergi sendirian. Salah satu yang berteriak paling keras adalah Nadia, anak sulungku.

“Mais t’as pas raison d’y aller tout seul!” Ucap anak perempuanku dengan sedikit kesal.

Aku hanya tersenyum ketika Nadia mengatakan kalau tidak ada alasan untukku pergi ke luar negeri sendirian. Kekhawatirannya membuat keluargaku menjadi bertanya-tanya apa yang akan kulakukan selama tiga bulan di sana, termasuk cucuku Alice. Walaupun kejujuranku memang tidak sepenuhnya, namun aku tetap mengatakan apa tujuanku pergi ke negara yang dimana dulu aku pernah bekerja selama lima belas tahun lamanya itu. Lalu aku pun menjelaskan kepada mereka bahwa sudah saatnya aku mengunjungi tempat-tempatku bersama Clara di masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun