Mohon tunggu...
Puguh Nugroho
Puguh Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KH Ahmad Dahlan dan Kiai Kereta Api

5 Desember 2010   06:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:00 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di awal berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dianggap menyimpang oleh banyak orang dan sering dijuluki sebagai Kiai Kafir, lantaran mendirikan Sekolahan Umum (yang dianggap berasal dari barat) dan merubah sistem Pendidikan Islam yang pada waktu itu identik dengan dunia Pesantren yang menggunakan metode pengajaran Sorogan, Bandongan atupun Wetonan (yaitu: Murid/Santri duduk melingkari Guru/Kiai yang duduk berada di tengah-tengahnya), menjadi sistem Klasikal Barat (yaitu: dengan menggunakan meja, kursi, dan papan tulis serta guru berdiri di depan untuk mengajar).

Pada masa itu, cara pengajaran tersebut masih dianggap asing bagi kalangan masyarakat santri, bahkan sering dikatakan sebagai Sekolah Kafir.

Hingga suatu saat KH. Ahmad Dahlan kedatangan tamu seorang Guru Ngaji dari Magelang, yang mengejeknya dengan sebutan kiai kafir dan kiai palsu karena mengajar dengan menggunakan alat-alat sekolah milik orang kafir.

Karena ejekan tersebut, Dahlan berkomentar,

" Maaf, Saudara, saya ingin bertanya dulu. Saudara dari Magelang ke sini tadi berjalan kaki kah atau memakai kereta api?"

"Pakai kereta api, Kiai" Jawab guru ngaji.

"Kalau begitu, nanti Saudara pulang sebaiknya dengan berjalan kaki saja"  Ujar Dahlan.

"Mengapa?" Tanya sang guru ngaji keheranan.

"Kalau Saudara naik kereta api, bukankah itu perkakasnya Orang Kafir?" Jawab Dahlan Telak.

"??????????????" sang guru ngaji terbengong-bengong.

Demikianlah cara KH. Ahmad Dahlan dalam memberikan penjelasan kepada orang-orang yang meremehkan dirinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun