Setelah badai Covid 19 yang telah berlahan berlalu, kita mulai aktif kembali bertemu klien secara tatap muka. Pada awalnya telah terbiasa bekerja dari rumah dengan online dan WFH (Work From Home), kini memulai kebiasaan kerja lama.Â
Pola-pola dulu yakni pertemuan di warung kopi, Â habiskan banyak waktu bertemu klien di lapangan golf, entertainment sana sini. Yah Seperti yang dulu. Seperti reuni saja.
Awal mula PPKM, semua manager marketing menganggap digital marketing penting, perusahaan ini harus adopsi secepatnya. Berbagai cara ditempuh, outsourcing tenaga digital marketing, pelatihan digital marketing, belajar teknologi ini itu, belajar adopsi platform social media ini itu.
Harapannya penjualan tetap naik, namun kenyataanya?
Pelanggan kita tidak pernah datang lagi. Mereka telah berlabuh pada merek lain, perusahaan lain, Bos besar tidak henti-hentinya marah-marah. Bikin pusing. Target tidak tercapai. Bonus dikurangi. Alamaaakkk !
Digital marketing sangat berbeda dengan pemasaran konvensional. Intinya kemapuan mengembangkan costumer base, (CRM) Costumer Relationship Management, paham kerja teknologi masing-masing social media, akrab dengan machine learning, dashboard analitik.Â
Kita juga harus paham tentang konten marketing, platform pembayaran, menyiapkan tim teknis. Ini sama saja restrukturisasi bisnis.
Â
Singkatnya mengurus perusahaan dari awal lagi. Sementara gaji tidak naik-naik bosku.
Tidak heran Manajer Marketing lebih senang kembali lagi kecara-cara lama. Mengapa ?
Alasannya pertama Manajer Marketing menolak yang namanya perubahan, tentu ada pengorbanan seperti waktu, harus belajar lagi, terlihat bodoh.
Hal lainnya digital marketer itu diurus bocah ingusan, gayanya minta ampun sudah sekelas Mark Zukember. Baperan, cepat nyerah, ditegur sedikit sudah nelongso, cocok lah disebut strawberry generation, kata Prof Rhenald Kasali.
Tidak ada solusi, malah cost melulu. Kapan cuannya.
Â
Perusahaan pun kacau, software yang dibeli kadaluarsa dengan sendirinya. Teknologi yang dibeli akhirnya disimpan digudang.