Ketika petama kali bertemu dengannya badannya kurus kerempeng kaya tulang dibalut dengan kulit. Dibalik senyumannya yang indah dia memiliki kesedihan yang terpendam didalam matanya.
Kesedihan tersebut merupakan bentuk kegelisahan akan masa depannya dan masa depan anaknya. Hebatnya ia selalu tegar menghadapi segala sesuatunya. Dia menghadapi dunia dengan penuh kesabaran dan juga selera humor yang bagus.
Dia selalu bisa membuatku tertawa dan orang disekitanya terhibur meski dipundaknya beban hidup lumayan berat dibandingkan dengan usianya. Hal ini lah yang membuatku jatuh cinta dengan dia.
Seperti melihat sosok ibuku padanya. Ibuku itu sabar dan sangat sangat tabah menghadapi segala jenis cobaan. Sosokmu adalah cerminan rasa keibuan. Aku termasuk pemegang prinsip bahwa tiap manusia diberi kesempatan untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Dia korban dari ketidakadilan stigma masyarakat dan hal ini harus dirubah total di tatanan pola pikir kita. Tidak ada yang buruk dari sebuah kegagalan, asal kita dapat mengambil intisari kegagalan tersebut dan mengubahnya menjadi sebuah kesuksessan. Berani taruhan mana ada orang yang mau sebuah pernikahan menjadi gagal. Iya nggak? Tapi tidak semua orang memiliki takdir yang sama yaitu memilki pernikahan yang langgeng.
Sebelum kita menghakimi dan mengkoreksi sifat dan keadaan seseorang bagaimana kalau kita mulai dengan mengkoreksi dan menghakimi diri kita sendiri. Mulailah memperbaiki diri sendiri baru koreksi orang lain.