Saya yang tinggal di desa dan anak kampung sejak kecil hanya akrab minuman jenis limun dan sirup. Sedangkan minuman berkarbonasi dan botol saya anggap mewah. Orangtuaku saja jarang membelikannya, itu juga kalo dapat rejeki gede. Namun, saat kuliah di Jakarta minuman botol dan berkarbonasi saya anggap biasa. Tak mewah lagi. Selain harganya terjangkau, saya juga sudah punya penghasilan sendiri. Honor tutor dan jasa translate.
Tahun 2009 saat pulang kampung ke Indramayu, saya main ke rumah temen. Orangtuanya ternyata produksi sirup mangga. Telisik punya telisik, ia memproduksi sirup itu lantaran saat musim panen mangga, stok berlimpah, hingga banyak yang busuk. Berbekal keadaan seperti itu lalu muncul ide membuat sirup mangga.
Meski sering mencoba berbagai macam minuman kemasan. Lidah saya tetep cocok dengan sirup-sirup lokal. Entah kenapa? Apa lantaran saya anak kampung ya? Lidah saya sulit menikmati 'sirup-sirup jaman now'. Mungkin kadung karena biasa makan mangga, sehingga membentuk selera lidah langsung cocok dengan sirup ini. Â
Tak ubahnya dengan es krim jaman now, bagi lidah saya lebih cocok dengan es krim lokal. Seperti es lilin atau es mambo. Selain harga murah meriah, kadang saya berpikir sejorok-joroknya minuman yang pernah saya nikmati di waktu kecil, higienitasnya masih lebih terjaga.
Setahu saya juga, tidak banyak penambahan perasa, pewarna sintetis dan pengawet. Saya kadang harus menunggu mamang-mamang penjual es lilin menggoyangnya hingga jadi. Hanya dengan rekayasa pembentukan melalui es balok dan garam sambil digoyang. Tapi, entah juga. Mungkin saja saya tidak tahu kalau minuman masa kecil saya ternyata sama 'joroknya' dengan minuman era sekarang yang pol pemanis, pewarna, dan perasa buatan. Karena rupanya, bagi anak-anak, enak adalah enak.