Mohon tunggu...
Meneer Pangky
Meneer Pangky Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger

Blogger | Wiraswasta | meneerpangky.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seni Bujangga Dermayu

26 November 2012   20:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:38 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bujangga adalah suatu jenis (genre) nyanyian yang terdapat secara luas dalam wilayah budaya Dermayon. Istilah lain untuk bujangga adalah macapatan atau kidungan. Seni bujanggaan dinyanyikan laki-laki, dengan banyak memakai “suara kepala” (head voice, yodel), sehingga perpindahan antara suara normal dan suara kepala itu menciptakan liukan melodi atau loncatan-loncatan nada dan timber (warna suara) yang sangat kentara. Lengkingannya panjang-panjang, yang umumnya dilakukan dalam satu tarikan nafas. Para penyanyi seolah berlomba untuk bisa mencapai nada setinggi-tingginya dengan nafas yang sepanjang-panjangnya. Bujangga membawakan suatu cerita, yang dibaca dari suatu buku yang disebut wawacan (“bacaan”) atau serat yaitu cerita yang ditulis dalam puisi-tradisional berbentuk pupuh, seperti misalnya pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Maskumambang, Magatruh, dll. Satu wawacan, atau satu (episode) cerita yang berdiri sendiri secara utuh, mungkin memakai seluruh 17 pupuh, atau mungkin pula hanya sebagian saja—umumnya memiliki belasan jenis pupuh. Ada 4 pupuh yang selalu ada, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula. Setiap pupuh adalah lagu, yang memiliki aturan baku dalam jumlah baris, jumlah suku kata (guru wilangan) dan bunyi huruf (vokal) dari setiap akhir baris (guru lagu). Pupuh-pupuh inilah yang dinyanyikan oleh Bujangga. Seorang penyanyi menyanyikan satu-dua bait saja dari suatu lagu (pupuh), yang kemudian diganti oleh penyanyi lainnya. Ada standar melodi dari tiap lagu itu. Tapi aturannya hanya mengenai pola atau kontur dasar, sedangkan variasinya sangat banyak karena dilakukan spontan, bergantung pada selera dan kemampuan masing-masing. Dari sisi teksnya, setiap pupuh memiliki perwatakan yang berhubungan dengan isi cerita. Misalnya Asmarandana untuk suasana romantis atau yang berisi nasihat-nasihat, Sinom untuk yang segar-romantis, dan Pangkur untuk yang gagah atau amarah. Yang lebih beragam lagi adalah lagunya. Suatu pupuh memiliki berbagai melodi atau gaya. Dalam seni macapat, lebih-lebih lagi: setiap penyanyi memiliki versi tersendiri, sehingga macam lagu itu hampir-hampir tak terhingga. Cukup banyak wewacan yang biasa dibawakan dalam bujanggaan, dan yang punya hajat bisa memilihnya, sesuai dengan kesenangannya, atau dengan konteksnya. Wewacan Sulanjana umpamanya, hampir menjadi patokan untuk dibacakan pada waktu selamatan panen. Wawacan Sekh Abdulkadir Jaelani, untuk acara yang bersifat keagamaan (termasuk nasihat), atau untuk penghormatan pada leluhur. Wewacan Purnama Alam, Panji Wulung dan wawacan Rengganis untuk selamatan anak, karena isinya mengenai perjuangan, kepahlawanan, sehingga layak untuk menjadi tauladan. Semua wewacan berbentuk buku, yang dicetak (terbitan), atau yang berupa salinan ditulis tangan. Hurufnya, ada yang aksara cacarakan (jawa), Latin atau Pegon (Arab-gundul, Jawa). Bahasanya, wewacan berbahasa Jawa. Maka, bisa saja terjadi wawacan berhuruf pegon, bahasanya Jawa, dinyanyikan dalam melodi. Pertunjukan bujangga adalah peristiwa komunal, berifat sosial atau kekeluargaan yang khas dalam sistem kehidupan pedesaan, terutama di masyarakat petani; dan biasanya diselenggarakan di dalam rumah, berupa kenduri kecil, bukan pesta besar dengan panggung yang dibuat khusus, untuk syukuran panen, khitanan, kelahiran bayi, dan sebagainya. Yang punya hajat mengundang para bujangga secara kekeluargaan, yang umumnya para tetangga-kerabat sekampung. Namun demikian, karena teknik suara yang khusus itu, tak banyak orang yang bisa menyanyikannya. Di suatu kampung biasanya hanya terdapat beberapa orang saja yang dianggap baik menyanyi kidung. Karena itu, untuk suatu pertunjukan seni bujangga, bisa merupakan kumpulan penyanyi dari beberapa desa bertetangga. Tapi, mereka tidak terbentuk dalam satu grup kesenian formal. Pada jaman dulu, sampai tahun 1960an atau bahkan sampai sekarang untuk desa-desa terpencil, di suatu kampung itu hanya terdapat beberapa orang saja yang bisa membaca, baik huruf Jawa, Latin, ataupun Arab-pegon. Adapun penyanyinya bisa 3, 4, 5 orang, atau lebih. Jumlahnya tidak dibatasi, tergantung pada besar-kecilnya hajatan atau pada ketersediaan orang yang bisa. Bujangga adalah kesenian yang berdasar pada sastra tulis, wewacan. Namun, dalam praktik pertunjukannya, unsur kelisanan sangatlah besar. Wilayah untuk improvisasi sangat lebar, dan kidung-kidung bujangga tidak memiliki notasi, sampai sekarang. Di sana-sini juga terdapat senggak, yaitu nyanyian selingan atau yang mengimbuhi lagu pokok misalnya dengan wangsalan/pantun dalam basa dermayonan juga walili hu aing dan lailahaillah. Para penonton bisa turut menyanyi atau meramaikan dengan tepukan tangan berirama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun