Saat menjelang lebaran semua orang sibuk. Lalu lintas perdagangan meningkat tajam, dari pakaian sampai kue lebaran. Pasar swalayan sampai pasar traditional penuh  sesak dengan orang  mencari keperluan lebaran.
Jalanan ramai kendaraan dan disiarkan oleh seluruh stasiun tv swasta, dikabarkan dari pintu masuk tol dan lokasi rawan kemacetan di seluruh Indonesia.
Para perantau pulang ke kampung halaman. Memenuhi semua terminal keberangkatan, stasiun kereta, Â bandara dan pelabuhan. Â
Bahkan kendaraan pribadi rela antri dalam kemacetan panjang, Demi satu tujuan, mudik ke kampung halaman untuk merayakan lebaran.
Saya pernah mengalami lebaran di kota-kota Indonesia. Jakarta, Denpasar, Surabaya, Yogya, Palangkaraya, bahkan Semarang.
Spertinya kota-kota besar kehilangan penghuni saat lebaran. Bahkan Jakarta yang penuh sesak manusia, jalanan besar menjadi lengang saat lebaran.
Lalu apa sebenarnya yang  menjadi latar belakang sehingga orang-orang rela untuk mudik lebaran? Ke desa-desa sepi yang nyaris tak ada kegiatan?
Ternyata para mudiker bukan menikmati suasana desa asalnya. Melainkan proses pergi pulang dengan banyak rencana.
Belanja oleh-oleh, menginap di hotel, pergi ke tempat-tempat wisata, bahkan menikmati kuliner daerah sepanjang perjalanan pulang pergi.
Tak heran bila lebaran tiba semua tempat wisata penuh, penginapan penuh, jasa transportasi untung berlipat, dan semua orang menikmati sesaknya perjalanan seperti ritual tahunan. Bukan lebaran namanya kalau jalanan tidak macet.
Bahkan pengusaha angkutan menaikkan ongkos dengan tuslah, membuat para calon penumpang resah.