Waktu kecil saya tinggal di Bandungan. Kampung berhawa dingin di lereng gunung Ungaran yang kini telah menjadi kota kecamatan.
Tinggal di desa yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh, dan beberapa diantaranya bertani, membuat anak-anak tak terbiasa bekerja (baca: mencari uang).
Setelah menikah saya bersama istri pindah ke Semarang menempati rumah kontrakan sampai sekarang. Â Di lingkungan baru berupa perumahan ini saya tak juga melihat ada anak di bawah umur yang bekerja mencari nafkah.
Ceritanya menjadi lain saat saya mengendarai motor malam hari di tengah kota Semarang.
Malam itu jam di Hp menunjukkan pukul 23.30. Disebuah perempatan lampu merah semua kendaraan berhenti agak lama karena  perempatan ini termasuk jalur padat lalulintas.
Memandang lampu traffic light yang masih terus menyala merah, membuat saya melamun. Berharap segera berubah warna hijau untuk melanjutkan perjalanan.
Lamunan saya tiba-tiba terpotong saat melihat seorang gadis kecil, umurnya saya perkirakan 7-8 tahun mengempit beberapa lembar koran lokal yang terbit sore hari. Ia menyodorkan selembar koran. "Koran om", katanya lirihÂ
Meskipun agak gelap, tapi terlihat kelelahan di matanya. Kulit tubuhnya kotor seperti tak tersentuh air beberapa hari.  Pakaian yang dilapisi  jaket Kumal membungkus tubuh kurusnya.
Tanpa beralas kaki dan terlihat seperti sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Saya menengok ke segala arah mungkin ada teman penjaja koran lain, atau mungkin orang tua si gadis kecil. Tapi saat mata saya menyapu ke segala arah tak diketemukan seorangpun.
Sejak kecil saya memang hidup didera kemiskinan, tapi orang tua saya tak pernah sekalipun menyuruh anaknya bekerja, apalagi menjajakan koran di jalan.
Hati saya berontak protes terhadap keadaan yang sedang terjadi, anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, hanya untuk beberapa ratus rupiah dari keuntungan menjual koran.