Mohon tunggu...
Iim Sahlan
Iim Sahlan Mohon Tunggu... wiraswasta -

kebahagiaan adalah hati yang sehat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nikahi Aku dan Ajarkan Aku Politik

20 Agustus 2012   19:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1345490199644079053

iim sahlan - Dalam lagunya Iwan Fals pernah mengatakan, “Ingin kuludahi rupamu yang cantik, agar kau mengerti bahwa kau memang cantik.” Mungkin kalimat itu yang ingin rasanya aku tumpahkan pada dia. Perempuan cantik yang sedikitpun tidak mau mengakui kecantikannya. Aku selalu katakan bahwa kau begitu cantik di mataku. Apalagi di hatiku, tidak ada lagi yang lebih cantik dibandingkan engkau dan Tuhan. Namun sebaliknya dia selalu membantah bahwa “Aku bukan siapa – siapa mas,”

Dia adalah bunga jiwa yang tersimpan dalam hiruk pikuk kemunafikan kota. Aku melihatnya dengan jiwa yang berseri – seri, sebab binar keanggunan hatinya yang tak mampu menghindar dari tangkapan mata batinku.

Aku tak berani mengatakan bahwa aku cinta, karena sesungguhnya cinta itu pun aku tak tahu. Namun aku tak berhenti melemparkan pujian dari lubuk hati. Pujian dengan setiap kata indah warisan para pujangga, maupun dengan berbagai bentuk pujiann yang aku bisa. Namun bibirnya selalu mengeluarkan kalimat syahdu yang menggetarkan nurani, “Aku hanya wanita biasa mas, seperti yang lainnya. Bahkan mungkin aku tak sebaik wanita yang lain, aku rasa sangat tidak pantas menerima pujian yang sangat berharga darimu mas.”

Hari itu, Fatma sedang bercengkrama dengan kesendiriannya di salah satu sudut perpustakaan. Aku lihat dia membuka sebuah buku di meja, namun aku perhatikan mata dan fikirannya entah ke mana. Aku cari celah yang tepat untuk memanggilnya. Namun, belum aku menyapanya, Fatma terbangun dari alam lamunannya dan menyapaku dengan senyum yang menerangi seluruh ruang hatiku. Satu kata pun mengalir dari bibirnya yang indah, “mas.?!.”

“Fatma, sudah dari tadi kamu di sini.?”, sapaku.

“Lumayan mas, sejak jam 9 tadi aku di sini. Mas dari mana,?”

“Aku dari rumah de’, mau baca Koran di sini. Kamu sendiri sedang membaca apa itu.?”

“Ah nggak mas, cuma buku biasa,” jawabnya singkat sembari menyembunyikan buku tebal itu dalam dekapannya.

Aku tidak memaksa untuk tahu buku apa yang dia baca. Aku hanya ingin menggunakan kesempatan emas ini untuk menikmati setiap kata yang terucap dari bibirnya dan menikmati kesejukan jiwa saat ada di dekatnya. Tapi tidak aku duga, pagi itu bibir cantik Fatma mengucapkan kalimat bernada pertanyaan dan kegelisahan yang tidak aku duga darinya.

“Mas,” lirih dia memanggilku

“Iya de’ ?”

“Apakah negeri kita ini sudah merdeka ?,” perempuan setengah bidadari itu memandangku dengan matanya yang tajam.

Aku pun tersentak, dungu seketika dibuatnya. Fatma yang aku kenal sangat tidak senang dengan gerakan aktifis dan demonstrasi. Fatma yang tidak senang mendengar hiruk pikuk politik. Fatma yang tidak begitu tertarik dengan hitam putih pemerintahan, tiba – tiba melontarkan pertanyaan yang mungkin aku sendiri tak mampu menjawabnya.

“Kenapa kau tiba – tiba bertanya begitu de’?”

“Aku ini bingung mas, lama – lama tidak kuat juga melihat ketimpangan di sekeliling kita. Sudah sampai ke 67 Ulang Tahun Kemerdekaan Republik ini diperingati dan dirayakan, Namun aku lihat bangsa ini semakin hari semakin terpuruk. Aku selama ini seolah acuh karena aku kecewa mas, kecewa dengan segala tingkah polah penguasa yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan penuh penindasan terhadap rakyat kecil. Aku ingin melakukan sesuatu untuk negeri ini, tentunya semampuku. Mas bisa bantu aku.?”

Aku tertegun, heran, dan terperanga melihat Fatma bicara panjang tentang nasionalisme. Aku dibuatnya diam tanpa kata, karena inilah pertama kalinya Fatma bicara seperti itu.

“De’, tidak salah apa yang aku dengar darimu ini ?, apa yang bisa aku lakukan untukmu ?,”

“Mas, sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu untukmu. Aku tahu selama ini kau mencintaiku dengan segenap jiwamu. Sedikitpun aku tak meragukan cintamu untukku mas. Dalam kesempatan ini, aku ingin menjawab perasaanmu selama ini kepadaku mas, bahwa sebenarnya aku pun begitu, sama sekali tidak ada alasan bagiku untuk menolak cintamu dan tidak menerimamu sebagai pangeran di hatiku.”

“Benarkah begitu Fatma ?,” seakan tak percaya. Ingin rasanya berteriak kencang dan memeluknya. Namun aku hanya tersenyum dan menyembunyikan rasa bahagiaku. Gadis cantik itu pun hanya sejenak diam, kemudian kembali berkata – kata.

“Tapi mas, aku tidak ingin menghabiskan waktu dan hatiku hanya untuk berpacaran. Itulah kenapa selama ini aku diam dan dekat denganmu sekedarnya saja. Tapi semakin hari, aku melihatmu mencintaiku semakin luar biasa. Aku juga semakin mencintaimu mas,” aku masih diam mendengar dan tak mampu berkata – kata.

“Mas, aku akan jawab ungkapan hatimu 2 bulan yang lalu. Aku bersedia menjadi kekasihmu mas, tapi jika mas mau menikahiku. Karena aku tidak mau membuang waktuku untuk sesuatu yang sia – sia.”

Pagi ini fatma benar – benar membuatku seperti keledai dungu. Aku hanya menganggukan kepala, dan mengiayakan apa pun yang dia katakan. “Benarkah apa yang kau katakana itu Fatma, aku bersedia untuk segera meminagmu,besok aku akan bicara pada ayah dan ibumu.”

“Satu lagi yang aku minta darimu mas ?,”

“Apa itu de’, katakanlah !,”

“Ajarkan aku politik !,”

“Apa ?, politik ?,”

“Iya mas, ajarkan aku politik, aku ingin masuk ke dunia politk. Bantu aku untuk mendapatkan sedikit kekuasaan, agar aku dapat berbuat untuk negeri ini. Bantu aku untuk menjadi pengabdi pada bangsa ini. Aku ingin menjadi wakil rakyat kecil yang selama ini tertindas oleh kekuasaan yang arogan dan salah kaprah.”

Sekali lagi Fatma membuatku terkejut. “Kamu ini benar – benar bicara dari dirimu sendiri de’ ?”

“Benar mas, aku sudah tidak tahan. Aku ingin berbuat sesuatu.”

“Baiklah, jika itu maumu. Aku akan melakukan apa pun yang kau mau de’. Oh iya, kalau boleh tahu, buku apa yang kau dekap itu ?”

Kemudian Fatma menunjukan judul buku yang sedari tadi didekap erat dalam pelukannya. Aku pun kembali terkejut, saat melihat buku yang dibawa gadis pecinta bunga dan lingkungan ini. Jelas sekali aku baca judul besar di sampul buku itu, “DI BAWAH BENDERA REVOLUSI”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun