Mohon tunggu...
Mahib Fairuzabadi
Mahib Fairuzabadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Intelektual Merdeka

Berkelana memahami fenomena

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membakar Elit: Masyarakat Berdaulat, Demokrasi Sehat

19 Oktober 2022   13:10 Diperbarui: 19 Oktober 2022   13:14 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Lebih dari 7 Dasawarsa Kemerdekaan Indonesia, negara kita masih bertahan kokoh dengan keunggulan multikultural. 17 Agustus 2022 menjadi sebuah refleksi bersama bahwa Indonesia berdiri cukup tua sebagai bangsa yang berdaulat. Pencapaian ini tak lepas dari perjuangan para Founding father menggagas Ideologi Pancasila yang terbuka dan dinamis. Kebhinekaan yang kita miliki dapat menjadi contoh bagi negara luar bahwa persatuan Indonesia diatas keberagaman masih terjaga. Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara republik percaya bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, artinya semua pihak memiliki peran yang sama untuk membangun bangsa. Dalam perkembangan Sosial Politik di Indonesia diwarnai dengan dinamika. Sejarah mencatat, iklim politik di NKRI selalu silih berganti. Mulai dari era Soekarno dengan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, era Soeharto dengan label Orde Baru, hingga era Reformasi yang dimulai pada masa pemerintahan Habibie hingga Jokowi. Perubahan tersebut tak terlepas dari perjalanan kita sebagai bangsa menuju negara berkeadilan.

Dalam pelaksanaan nilai kedaulatan rakyat, Indonesia menerapkan demokrasi dengan bentuk kontestasi pemilihan umum. Pemilihan umum ini dilakukan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR, DPD, Kepala Daerah, DPRD Provinsi/kota/kabupaten. Namun ada warna baru ketika pemilihan umun pada 2004, dimana rakyat bisa memilih secara perorangan calon pemangku kebijakan Eksekutif dan Legislatif. Pasalnya penyelenggaraan pemilu  sebelum era reformasi (Orde Baru) hanya menyediakan pilihan 2 Partai (PDI & PPP) dan 1 Golongan Karya (Golkar). Kelanggengan era Orde yang Berkuasa selama 32 tahun tak terlepas dari manuver kecurangan pemilihan umum secara terstruktur, sistematis, dan masif. Salah satu contoh kecurangan rezim Orde Baru dalam kontestasi pemilihan umum yaitu intervensi pemerintah untuk memonoloyalitas PNS dengan memenangkan Golkar. Lahirnya reformasi mengakhiri keberadaan oligarki rezim orde baru dengan adanya multipartai.

 

Bercerita tentang pemegang kekuasaan Indonesia dari masa ke masa, keberadaan elit politik menjadi sebuah keniscayaan nyata. Multikultural dengan berbagai keragaman kelompok sosial berpotensi membentuk lingkaran politik yang berdampak pada kekuatan politik identitas. Namun bagaimana dengan sekarang? Bersumber dari https://www.setneg.go.id/ pada Sidang Tahunan MPR tanggal 16 Agustus 2022  Presiden Jokowi berpidato bahwa “Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas, jangan ada lagi politisasi agama, jangan ada lagi polarisasi sosial”. Ada sebuah kontra realita antara ungkapan Presiden Joko Widodo dengan rekam jejak manuver politik yang dilakukannya. Jika kita flashback Pilpres 2019, pola  kampanye yang dilakukan Tim Kerja Naional (TKN) Jokowi-Amin dengan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sama-sama melakukan persaingan politik identitas. Hal ini bisa dilihat pola para pendukungnya, misal Prabowo didukung dengan label “Ijtima’ Ulama PA 212”, seakan-akan ada legitimasi bahwa prabowo didukung kelompok Islam. Sisi lain, Jokowi juga didampingi seorang ulama K.H. Ma’aruf Amin yang merepresentasikan kelompok Islam. Ini memunculkan perpecahan dan polarisasi yang berdampak pada kontestasi politisasi agama. Kita tahu bahwa Indonesia tidak hanya Islam saja, namun ada masyarakat Indonesia yang Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Tetapi mau bagaimana lagi, keadaan tersebut pernah ada dalam catatan sejarah. Menjadi sebuah introspeksi kita bersama bahwa keberadaan politik identitas mengakibatkan suasana pemilu yang harusnya senang riang gembira didalam sebuah kompetisi, malah menjadi ajang adu domba antar anak bangsa. Perilaku yang berimbas pada pertengkaran dan perpecahan harus kita tinggalkan demi menjaga keutuhan negara diatas segala keberagaman.

 

Lantas bagaimana kita bisa melawan realita keberadaan polarisasi tersebut?  Mau tidak mau, suka atau tidak suka, kenyataannya memang seperti itu, Tetapi setidaknya kita sebagai generasi muda memiliki cita-cita menuju demokrasi yang sehat. Sebagai generasi yang sadar bahwa keberadaan politik identitas berdampak pada perpecahan bangsa, kita bisa mengupayakan dari gerakan kesadaran masyarakat. Kesadaran yang dibangun adalah bahwa masyarakat punya peranan besar dalam menentukan nasib bangsa kedepan. Pentingnya kapasitas masyarakat untuk memiliki ketajaman dalam berfikir menentukan arah iklim politik di Indonesia.

 

Untuk menuju masyarakat berdaulat, setiap masyarakat harus memiliki pendirian yang kuat dalam menentukan pilihannya. Manuver yang bisa lakukan adalah menggerakkan basis massa dengan kegiatan edukasi, membuka platform alternatif dengan terjun langsung ke masyarakat. Peran mahasiswa sebagai agen intelektual muda adalah memberikan dan mengarahkan kepada masyarakat mengenai kampanye yang damai dan esensial. Pola yang dilakukan adalah membuka ruang diskursus secara terbuka. Menjadi awal yang bagus ketika kita bisa bergerak dilingkup sekitar dari pada tidak melakukan gerakan sama sekali. Peranan untuk memberikan pemahaman tentang kampanye yang sehat tidak harus dilakukan oleh instansi KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Mahasiswa juga memiliki peranan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat secara luas. Untuk mencapai kondusifitas kampanye demi tercapainya demokrasi yang sehat, masyarakat perlu dipaham kan tentang istilah positive campaign, negative campaign, dan black campaign

 

Istilah tersebut perlu pahami masyarakat untuk mengetahui substansi dan kualitas kampanye yang dilakukan para pendukung kandidat Pemilu. Istilah positive campaign (kampanye positif) adalah pola komunikasi mempengaruhi masyarakat tentang rekam jejak yang baik dari pasangan calon. Negative campaign (kampanye negatif) adalah kampanye yang dilakukan dengan mengungkap kelemahan atau kesalahan lawan politik. Sedangkan Black Campaign (kampanye hitam) adalah menuduh pasangan calon atau kelompok lawan politik dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin. Dari definisi bentuk/istilah kampanye tersebut,  masyarakat bisa menganalisa kebenaran kampanye yang dilakukan para pasangan calon pemimpin. Hal tersebut juga berdampak kemampuan masyarakat untuk selektif dalam menerima informasi, apakah itu “hoax” atau fakta. Harapan kedepan, masyarakat tidak mejadi korban perpecahan dari perilaku buruk kampanye, seperti black campaign. Karena perlu diketahui bahwa black campaign merupakan kampanye hoax, sehingga memperkeruh suasana kampanye yang seharusnya “pesta” menjadi konflik.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun