Mohon tunggu...
Moch Mahmudi
Moch Mahmudi Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi Kata, Frasa, dan Klausa

mengomunikasikan hukum kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenang Imam Asnawi

22 Januari 2014   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Ambillah pelajaran dari kematian.”

Semasa sekolah di Madrasah Tsanawiyah1 Miftahul Huda di lingkungan kompleks Pondok Pesantren di Pulosari, Papar, Kediri, Jawa Timur, saya mempunyai seorang sahabat yang sangat baik akhlaknya. Imam Asnawi.

Ia unggul dalam bidang ngelmu alat2 semacam Nahwu3, Shorof4, Ma’ani5, dan lain semacamnya. Kami, teman-teman seangkatannya (seingat saya) tidak ada yang dapat menandingi kemampuannya tersebut. Berbeda dengan saya, yang gandrung dengan Mantiq6 dan Tarikh7.

Kami sering menghabiskan waktu senggang bersama-sama. Dalam pengamatan saya, ia khusyu’ dalam shalat dan doa-doanya. Tidak ewes-ewes macam saya.

Ia berperan sebagai penengah jika ada diantara kami yang berkonflik. Kami menerima perannya dengan baik, dan menghormatinya sebagai orang yang dituakan. Tutur bahasanya halus. Tidak meledak-ledak seperti saya. Pendek kata, ia adalah good boy.

Sebagai pramuka aktif, kami sama-sama menapaki ‘karier’ sebagai penggalang dan berhasil mendapatkan tanda kecakapan khusus tertinggi penggalang; Terap8, yang mirip-mirip tanda pangkat Sersan Kepala (Serka), dijahit di lengan sebelah kiri. Bangganya waktu itu, serasa menjadi tentara saja.

Beberapa tanda kecakapan khusus juga kami dapatkan, ada yang masih level Purwa9, ada juga yang Madya10, dan sedikit yang Utama11. Baju seragam kami pada hari Jum’at dan Sabtu terlihat pating crentel12 dengan berbagai badge yang dijahit di sana sini. Rasanya keren, namun tidak tahu juga kalau ada yang merasa aneh melihatnya. Sungguh kenangan kebersamaan yang menyenangkan.

Kemudian kami lulus. Mengejar cita-cita masing-masing. Beberapa tahun kemudian saya mendengar kabar ia telah berpulang. Sungguh kabar yang mengejutkan. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, dalam usia yang masih sangat muda Allah telah memanggilnya.

-“Selamat jalan Sahabat, sungguh Allah telah menyelamatkanmu dari fitnah dan bahaya dunia. Allah memanggilmu dalam usia yang masih sangat muda, tanda Allah sayang kepadamu. Aku yakin, Allah telah menyiapkan ni’mat kubur dan ni’mat di akhirat kelak. Kukirimkan Al-Fatihah kepadamu, mengiringi doa semoga Allah mengampuni dosamu, mengasihimu, menerima amal ibadahmu, dan menyediakan tempat yang lapang untukmu..”

Kematian adalah sebuah keniscayaan, namun bagaimana memaknainya adalah sebuah pilihan. Bagi saya, berbeda rasanya mendengar kabar si anu atau si polan meninggal, jika dibandingkan dengan orang-orang yang dekat secara emosional dengan kita, minimal kita kenal secara pribadi. Ada rasa kehilangan yang cukup dalam.

Dalam umur berapapun, keadaan apapun, dimanapun, kematian itu mudah saja mampir. Tanpa diduga, tanpa diprediksi, tanpa kuasa untuk menghindarinya. Kelapa, lambang Pramuka itu, adalah kiasan yang pas pula untuk mengambil hikmah kematian.

-“Masio sih pentil, sih degan, utowo wis dadi kelopo, pantes-pantes wae ceblok. Dadi bluluk. Ora ono sing gumun. Semono ugo mati. Yo ngono kuwi, sih bayi, sik cilik, sik joko utowo perawan, opo maneh wis kaki-kaki nini-nini, pantes wae mati. Sak wayah-wayah, sak enggon-enggon. Mulo ojo sembrono urip neng ndunyo. Neng kene iki mung sawatoro. Koyo mampir ngombe. Mengko kabeh yo bakal bali marang asale. Ngendi asale? Pikiren dewe. Neng ndunyo iki mung dadi tamu. Rogo iki yo mung nyilih. Mengko bakal dibaleake marang sing duwe. Sopo? Lemah. Awake dewe ora melu nduwe. Sing nduwe lemah.”

-(Meskipun masih kuncup, masih kelapa muda, atau sudah menjadi kelapa, pantas-pantas saja jatuh. Menjadi bluluk (istilah untuk bangkai buah kelapa). Tidak ada yang takjub. Begitu pula mati. Ya begitu itu, masih bayi, anak-anak, remaja, apa lagi sudah tua, pantas saja mati. Kapan saja, di mana saja. Makanya jangan sesukanya hidup di dunia. Di sini hanya sementara. Seperti mampir minum. Nanti semuanya juga akan kembali ke asalnya. Di mana asalnya? Pikirlah sendiri. Di dunia ini hanya menjadi tamu. Jasad wadak ini hanya meminjam. Nanti akan dikembalikan pada yang punya. Siapa? Tanah. Kita ini tidak ikut memiliki. Yang memiliki adalah tanah.”

Demikian Simbah mewejang. Hanya soal giliran. Kalau tidak sekarang, ya akan datang kemudian.

Sahabatku, selamat jalan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Suro ing Boyo, Ro Likur Januari Rong Ewu Pat Belas.

Catatan :

1SMP versi Kementerian Agama (dulu Departemen Agama)

2Ilmu Bahasa, disebut ‘alat’ karena digunakan sebagai alat untuk memahami kitab suci

3Tata Bahasa Arab

4Tata Verba Bahasa Arab

5Semiotika Bahasa Arab

6Ilmu berdebat

7Ilmu sejarah

8Pramuka penggalang level tertinggi, ditandai badge serupa V di lengan sebelah kiri. Filosofinya, sudah mampu menerapkan ilmu kepanduannya dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pertama, Ramu (meramu), tingkat kedua (merakit).

9Level pertama, ditandai badge lingkaran

10Level ke dua, ditandai badge segi empat

11Level ke tiga, ditandai badge segi lima

12Istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan saking banyaknya sesuatu yang dicantolkan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun