Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bergembira karena Sains

16 Oktober 2019   09:01 Diperbarui: 16 Oktober 2019   09:01 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jim al-Khalili (kiri) Brian Cox (kanan) (sumber foto: buzzfeed.com)

Ketika saya masih berkuliah sarjana strata satu (S-1) di Universitas Gadjah Mada, salah seorang dosen pernah berujar, "Coba Anda perhatikan wajah para ilmuwan di luar negeri, terkhusus para penerima Hadiah Nobel. Apakah Anda melihat air muka tegang atau menyeramkan?"

Nah, apakah Anda juga pernah melakukannya? Apakah Anda mengamati dan merasakan bahwa mereka dipenuhi ketegangan, ketergesa-gesaan, atau justru kegembiraan?

Seorang teman pernah bertanya kepada saya, "Mengapa ilmuwan luar negeri terutama yang sudah menerima penghargaan macam-macam termasuk Nobel terlihat senang, gembira?" Dia amat heran karena banyak, tidak semua tentunya, civitas akademik ilmu alam di berbagai universitas Indonesia kelihatan stres dan "angker".

Satu contoh yang nyata adalah John B. Goodenough, penerima Nobel Kimia 2019 pekan lalu. Dia bahkan menyatakan bahwa dia tidak pernah mengharap untuk bisa menerima Nobel dan dia mengatakan itu dalam suatu wawancara yang penuh tawa darinya.

Adakah hubungan antara kegembiraan yang relatif terpancar dari wajah para ilmuwan yang telah menerima anugerah Nobel atau anugerah lainnya? Saya hanya mempunyai perkiraan berdasarkan latar belakang keilmuan saya di bidang ilmu kimia sejak S-1 hingga studi doktoral.

Mereka, yaitu ilmuwan dari ilmu pengetahuan alam (IPA), sudah tidak diragukan kapabilitas dan tingkat kemahirannya di dalam bidangnya. Hadiah Nobel menjadi bukti kongkritnya.

Mereka adalah para ilmuwan yang berhasil melalui banyak tahapan dalam karier akademiknya dengan membuat berbagai tulisan ilmiah dalam bentuk jurnal yang dipublikasikan dalam penerbit jurnal yang baik pula, semisal Science atau Nature. Artinya, kontribusi keilmuan yang dihasilkan tidak dangkal.

Para ilmuwan itu telah banyak belajar dari alam melalui riset dan diskusi baik lewat diskusi biasa dengan para mitra maupun lewat forum ilmiah. Mereka berangkat dari prinsip fundamental bahwa segala sesuatu di alam ini bisa dipahami sebab bisa dipelajari.

Dalam riset, mereka telah banyak bergaul dengan fenomena alam, meski skala laboratorium, dan mereka telah memahami hukum kausalitas alam sehingga muncullah ilham bahwa sebenarnya alam tidak bisa dipaksa.

Manusialah yang seharusnya berkembang dengan menyesuaikan alam. Ini dapat dianalogikan seperti kita tidak mungkin membuat sel surya dari plastik kresek saja karena sifat-sifat kimia dan fisika plastik tidak memungkinkan sama sekali untuk jadi sel surya dan menghasilkan listrik.

Juga tidak mungkin kita membuat bahan bakar yang efisien dari minyak wangi alih-alih minyak bumi meskipun keduanya sama-sama merupakan "minyak".

Tentu masih banyak yang belum terungkap, tetapi itu bukan berarti alam adalah sesuatu yang sama sekali asing bagi akal manusia. Kemajuan teknologi di bidang mikoskop elektron membuat partikel nano (partikel berukuran 1-100 nm) menjadi bisa diteliti di abad 21 meski terlihat mustahil di era para "begawan" mekanika kuantum seperti Max Born, Erwin Schroedinger, Werner Heisenberg, dan Wolfgang Pauli.

Dengan demikian, manusia dapat memahami bagaimana hidup yang berkembang dan melesat maju menuju peradaban yang lebih baik. IPA ialah cabang ilmu yang bertujuan untuk memahami alam semesta dan di dalamnya. Karena kita dapat memahami alam, kita layak bergembira karena kita akan dapat hidup lebih baik bahkan tanpa perlu merusak alam sekalipun.

Dulu sebelum abad ke-19, orang berpikir bahwa listrik dan magnet adalah sesuatu yang terpisah, namun nyatanya ilmuwan Inggris Michael Faraday dapat membuktikan bahwa keduanya berhubungan. Belakangan, James Clerk  Maxwell dari Skotlandia mengejutkan dunia dengan risetnya yang menyimpulkan bahwa cahaya adalah gelombang elektro-magnet. Begitu seterusnya.

Hanya saja, ketekunan ilmuwan tentu tidak selalu membuahkan anugerah Nobel. Tapi, ada ilmuwan IPA lain yang meskipun tidak (atau belum?) menerima Hadiah Nobel namun tetap memberikan kontribusi pada masyarakat luas atau awam akan arti penting sains. Hadiah Nobel seperti lotere: Kita tidak bisa menebak siapa yang akan menerimanya.

Lagipula, hanya karena seorang ilmuwan tidak menerima hadiah Nobel, bukan berarti kontribusi penting mereka terhadap khazanah pengetahuan menjadi dipandang sebelah mata. Tidak boleh sama sekali.

Ada Profesor Brian Cox dari Universitas Manchester-Inggris dan Profesor Jim al-Khalili dari Universitas Surrey-Inggris, fisikawan sekaligus penyiar yang banyak membahas tentang kosmologi, optik, dan fisika sehari-hari lainnya. Keduanya adalah contoh ilmuwan "pop", namun mereka toh memiliki banyak item publikasi ilmiah yang dapat kita lihat sendiri di laman Researchgate.

Anda dapat menyimak video kuliah atau presentasi mereka di YouTube. Di dalam siaran mereka, alam tidak lagi misterius dan menakutkan, melainkan menyenangkan karena pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana" dapat dijawab, bukan lantas menyerah pada takhayul dan bersikap serba fatalis.

Saya tidak tahu apakah civitas akademik ranah IPA di  Indonesia benar-benar merasa tegang atau stres. Saya tidak bisa menjawabnya.

Namun, bila melihat rangking publikasi jurnal ilmiah Indonesia yang masih memprihatinkan, saya hanya bisa berkata kemungkinan besar banyak civitas akademik ilmu alam di Indonesia yang belum bergembira di dalam ilmu alam itu sendiri.

Atau jangan-jangan mereka mempelajari IPA dengan keterpaksaan? Ah, semoga saja tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun