Pada waktu yang lain lagi, aku diminta untuk ikut tim asistensi ke Natuna. Tentu, aku senang karena aku belum pernah ke Natuna. Di samping itu, Natuna adalah pulau terluar, satu daya tarik lain yang sulit dilukiskan.
Perjalanan dari Pekanbaru ke Natuna melalui jalur udara menuju Batam dahulu. Sesudah itu, naik kapal ke Tanjung Pinang. Menginap di Tanjung Pinang satu malam. Besok sore, baru berangkat ke Natuna naik kapal feri.
Lama perjalanan dari Tanjung Pinang ke Natuna sembilan belas jam. Malam hari di Tanjung Pinang, kami gunakan untuk melihat pelabuhan. Namun, pada saat itu, hatiku sudah mulai rusuh. Kegembiraanku berangkat ke Natuna mulai tergerus rasa khawatir.
Lupa sumber infonya, tetapi ingat kalau ada berita kapal di Banyuwangi tidak dapat bersandar karena gelombang besar dan kuat.
Banyuwangi? Banyuwangi-Bali kan, dekat dan lewat selat. Kalau Natuna? Berapa besar dan kuat lagi gelombang yang menghadang? Harus sembilan jam jam lagi, hanya di dalam kapal feri. Astagfirullah! Apa yang akan terjadi besok? Hatiku mulai cemas.
Akan tetapi, namanya juga rombongan dalam satu tim. Mau tidak mau, sudah berjalan, tidak mungkin kembali hanya karena ragu atau takut. Memang, aku sempat berpikir akan mundur dengan alasan mau mengurus S-2 di Yogyakarta. Namun, akhirnya niat itu kuurungkan. Tidak logis, kupikir. Memang, karena dari kecil aku dibesarkan di Yogyakarta, belum pernah naik kapal laut. Jadi, aku ngeri mendengar gelombang besar menghantam kapal.
Alhamdulillah, perjalanan kami lancar-lancar saja dari Tanjung Pinang. Hati mulai agak tenang melihat hal itu. Namun, ternyata itu tidak berlangsung lama.Â
Sampailah hari mulai gelap. Kalau mata melihat ke luar lewat jendela kapal, hanya air dan langit. Itu pun gelap gulita. Perasaan ngeri kembali mencekam diriku.
Lama-kelamaan makin terasa jalan kapal mulai tidak nyaman. Bahkan, orang-orang mulai ada yang tidak bisa duduk dengan tenang. Aku hanya bisa mencoba ndremimil, terus-menerus membaca tasbih, tahmid, dan takbir, sesekali diselipi istigfar. Namun, aku masih mencoba duduk tenang.
Rupanya, orang-orang sudah kalut. Ada yang terhuyung, ada yang berteriak. Ada yang membaca takbir. Kapal ferinya seperti berayun-ayun di samudra luas. Tiba tiba terdengar suara 'Krak!' keras sekali.
Orang-orang pun berhamburan, berpegangan satu sama lain, berteriak, bertakbir. Aku masih mencoba duduk, istigfar tak habis-habisnya.
Kemudian, suasana kembali tenang. Kapal kelihatannya berjalan perlahan. Sampai pada akhirnya, kapal tersebut berhenti. Satu demi satu, ada penumpang yang keluar. Rupanya, kapal berlabuh di suatu pelabuhan.
Aku pun mencoba ikut keluar dan bergabung ikut makan di warung. Setelah itu, kulihat kapal feri yang kutumpangi. Tampak dari luar, ada bagian kapal yang koyak. Mungkin, itu yang mengeluarkan bunyi 'krak' kuat sekali.
Aku lihat jam di warung, tengah malam. Itu artinya, untuk sampai ke Natuna masih sekitar sepuluh jam lagi. Astagfirullah! Betul-betul, sebagai orang darat takut laut diriku saat itu.
"Terhempas gelombang laut ... terbang bak garuda ...," desisku, saat lamunanku hilang, mengingat saat-saat perjalanan antar pulau itu.