Suatu kondisi yang mungkin saja tidak terprediksi dengan cermat oleh para elit politik dan cendiakiawan. Bahwa keputusan pelaksanaan Pileg bersamaan dengan Pilpres salah satunya adalah untuk menghindari politik tawar menawar pada saat proses pencalonan Pilpres. Proses tawar menawar yang dianggap dapat menciderai demokrasi itu, diharapkan tidak terjadi jika Pileg berlangsung bersamaan dengan Pilpres.
Namun idealisme tersebut terkendala dengan Presidential Threshold, yang tetap dipergunakan sebagai persyaratan proses pengajuan Capres dan Cawapres. Sibuknya pencalonan Capres dan Cawapres yang bahkan tidak terduga oleh elit negeri ini, justru karena dasar yang digunakan untuk memperkuat posisi Capres dan Cawapres hilang bak ditelan bumi. Posisi Cawapres bisa hilang dalam hitungan jam, suatu yang terjadi di luar tujuan dilaksanakannya Presidential Threshold.Â
Elit politik dihinggapi perasaan gamang dengan munculnya tokoh kuat di luar partai. Kegundahan Golkar yang memperoleh hasil suara Pileg yang luar biasa besar dalam beberapa kali, tidak signifikan terhadap Capres yang diusung Golkar, mendorong elit partai untuk membentengi munculnya elit politik di luar partai.Â
Namun situasi itu berlanjut pada masa kampanye. Masa kampanye yang panjang, namun dengan berbagai pola, membuat tokoh tokoh partai mengalami kesulitan untuk tampil macho dalam pesta demokrasi.Â
Situasi yang menguntungkan masyarakat, karena masyarakat kemudian tidak teraleniasi secara langsung dan massal membuat Pileg dan Pilpres berjalan adem ayem.Â
Hal tersebut dapat dinilai merugikan bagi elit politik, karena hiruk pikuk Pileg yang dulu merupakan salah satu indikator pesta demokrasi itu hilang. Pemberitaan Pilpres lebih dominan dari Pileg.Â
Hal tersebut menjadikan kekhawatiran bagi partai yang tidak dominan dalam posisi pengusung Capres dan Cawapres merasa tidak mendapat efek positif dari Pilpres. Pileg sepertinya tertutup Pilpres.