Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jakarta PSBB Total? Nggak Apa, Sudah Biasa

10 September 2020   23:09 Diperbarui: 12 September 2020   09:52 1778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bekerja dari rumah. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Kira-kira sebulan yang lalu, saya mendapat jadwal piket untuk masuk kantor. Dalam satu departemen yang dihuni oleh 24 orang, hanya 7 orang yang hadir. Itupun dengan jam kerja lebih pendek. Dan hari itu adalah hari pertama saya kembali menginjakkan kaki di gedung 56 lantai itu setelah 4 bulan lamanya bekerja di rumah.

Perubahan Kilat ke Work Form Home

"Enak ya", kata itu selalu meluncur dari lidah teman-teman pekerja kantor lain yang menanyakan tentang kabar pekerjaan. Enak memang yang namanya Work From Home (WFH) itu. Sebab saya tak perlu mandi dan sarapan pagi-pagi lalu menggeber motor ke kantor demi berada di kantor sebelum pukul 08.30 WIB. 

Namun bukannya tanpa konsekuensi. WFH pada kenyataannya menimbulkan masalah yang tak dijumpai saat bekerja di kantor. Hambatan komunikasi termasuk akses internet, repotnya mengatur urusan kantor dan rumah tangga hingga jam kerja yang justru tanpa batas waktu menjadi komponen utama permasalah WFH.

Sejak akhir Maret lalu, perusahaan yang mempekerjakan saya mulai menerapkan WFH penuh setelah beberapa pekan sebelumnya menjalankan WFH parsial. Saya ingat saat terakhir bekerja di kantor, sebuah pesan via whatsapp group bahwa salah satu penghuni gedung telah positif terkena corona. Beuh! Antara panik dan pura-pura tenang. Soalnya kali itu, sumber berita pesan perantai itu adalah salah satu situs mainstream bukan cuma whatsapp group yang temanya kira-kira dan mungkin.

Sebenarnya pekan sebelumnya pun telah terdengar bisik-bisik di antara para karyawan bahwa dalam beberapa hari ke depan akan diterapkan WFH secara penuh. Dan pas banget setelah tersiarnya kabar itu, manajemen perusahaan mengetok palu bahwa pekan berikutnya seluruh karyawan harus melakukan aktivitas kerjanya di rumah masing-masing.

Sejurus pasca diumumkannya keputusan itu, para karyawan pun disibukkan dengan pemindahan aset yang biasa digunakannya di kantor ke rumah. Kesibukan yang tak kalah pekatnya dilalui oleh rekan-rekan di departemen IT. Dengan waktu yang sesingkat mungkin, mereka diserahi tugas untuk membangun sistem yang mendukung kelancaran pekerjaan secara daring. 

Work form Home Solusi Teraman Pekerja Kantoran

Meski banyak masalah, WFH tetap menjadi solusi teraman dalam menghadapi pandemi kali ini. Sebagaimana diberitakan dalam 2 pekan terakhir, ratusan karyawan dari beberapa pabrik yang beroperasi di Bekasi positif terjangkit Covid 19. Hal itu menjadi pertanda bahwa pola kerja di pabrik memungkinkan penularan virus dengan skala yang luas. 

Kondisi itu tak beda dengan di kantor yang di dalamnya terjadi interaksi luas dan frekuentatif antar karyawan. Protokol kesehatan yang diterapkan perusahaan pun tak akan 100% menjamin keamanan dari paparan Covid-19 sebab semuanya terpulang ke masing-masing individu. 

Sebagaimana yang saya alami saat piket bulan lalu, mengenakan masker seharian itu rasanya nggak nyaman, euy. Untungnya saya nggak sampai lepas masker saat perjalanan ke kantor. Sebab beberapa meter dari pintu masuk gedung, saya sempat melihat seseorang yang bukan anggota PPSU terlihat tengah menyapu jalanan. Tak seberapa jauh darinya, terlihat beberapa orang anggota Satpol PP yang mengawasi. Usut punya usut, ternyata 'si penyapu jalan' lagi dikenai sangsi karena tak mengenakan masker. Ehe..

Dalam zoom meeting antara manajemen dan karyawan 2 bulan lalu, ternyata banyak juga karyawan yang menanyakan sampai kapan WFH diterapkan. Belum ada keputusan, begitu papar bos besar. Dan terungkap bahwa untuk dapat kembali beraktivitas di kantor, manajemen mempertimbangkan banyak faktor. Akses transportasi umum dan penerapan protokol kesehatan misalnya. 

Adalah tidak mudah untuk mendisiplinkan sekian banyak orang dalam mematuhi protokol sebab tak ada mekanisme pengawasannya pula. Jika kemungkinan terburuk terjadi, misal ada karyawan yang terinfeksi, amat mungkin hal itu akan berpengaruh ke proses kerja perusahaan. Seperti harus meliburkan perusahaan untuk menghindari kemungkinan yang lebih buruk lagi. 

So, Ibu Kota mau PSBB total? Aku ora papa.

Baca juga artikel lainnya :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun