Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kiat Bagi Para Pendukung yang Tak Lagi bersama Prabowo

14 Juli 2019   11:22 Diperbarui: 14 Juli 2019   14:06 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan Jokowi dan Prabowo | Foto diolah dari IndonesiaSatu.co

Dua tokoh paling menyita perhatian selama setahun terakhir kemarin bertemu muka untuk pertama kalinya selepas pilpres. Joko Widodo dan Prabowo Subiyanto. Pertemuan mereka diharapkan dapat mewujudkan rekonsiliasi bangsa yang sebelumnya sudah ramai diwacanakan dan oleh sebagian elemen bangsa pun sudah dilakukan.

Proses demokrasi yang penuh drama setahun terakhir menyajikan episod-episod yang merepresentasikan perseteruan antara 2 kelompok besar manusia Nusantara yang merelakan diri menjadi sukarelawan pemenangan. Media sosial yang sonder filter dipenuhi dengan propaganda ke dua pihak yang tak jarang berupa propaganda sampah nan tak bernilai.
Hingga kini, tepatnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan kemenangan Jokowi - K.H. Ma'ruf Amin pun narasi kemenangan yang dirampas dengan kecurangan yang sebelum pilpres kerap didengungkan masih saja menggaung. 
Ada segumpal ketidakpercayaan yang tertuju pada badan pengadil yang diketuai Dr. Anwar Usman semenjak April 2018 itu. Hal itu muncul karena anggapan bahwa MK telah condong kepada salah satu pihak yang tak lain adalah calon petahana, Joko Widodo.
Tak tanggung, pernyataan itu muncul dari salah satu tokoh sekelas Prof. Dr. Din Syamsuddin. Dikatakannya bahwa hasil putusan MK telah mengesampingkan dalil-dalil yang disajikan penggugat.
 "Saya merasa ada rona ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi. Banyak fakta dan dalil hukum yang terkesan tidak didalami", demikian ungkapnya sebagaimana dikutip Antara.
Sebagian rakyat yang merupakan para pendukung Prabowo - Sandi nampak kesulitan untuk melepaskan diri dari narasi-narasi yang menyajikan tema kezaliman demi merebut kekuasaan yang kental mereka produksi dan konsumsi selama masa kampanye. Wajar, karena perulangan akan menghasilkan efek melekatnya segala tema yang dinarasikan. Narasi buruk lawan tentu akan lebih diingat daripada narasi positip. Apalagi semua hal positip dari lawan telah dihapus dari daftar propaganda mereka.
Ada beberapa kiat yang bisa dicoba agar --setidaknya-- kebencian itu tak terlalu membebani kehidupan selama 5 tahun ke depan. Paling tidak, agar media sosial kita dapat kembali ke khittah-nya sebagai media untuk bersua teman lama atau mencari teman baru, mencari jodoh, sarana bertukar informasi tentang berbagai hal dan yang tak kalah pentingnya sebagai tempat berjualan.
Pertama, anggap saja kemenangan lawan itu sebagai sebuah istidraj. Istidraj dalam bahasa Jawa diterjemahkan sebagai panglulu. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan perbuatan Tuhan yang memanjakan para pendurhaka. Sehingga dalam pandangan manusia, orang-orang bakhil (pelit) akan tetap menjadi kaya raya, para penguasa zalim langgeng dan bebas menyalahgunakan kewenangannya serta contoh semisal lainnya. 
Dalam kasus ini, artinya bahwa Tuhan memenuhi keinginan sebagian rakyat Indonesia yang justru menginginkan penguasa yang tak mengindahkan norma untuk kembali berkuasa.
Kedua, ini yang tidak mudah karena membutuhkan kelapangan dada Anda yang entah masih tersisa seberapa luas. Yakni menyadari bahwa sebuah kebaikan harus pula ditempuh dengan jalan yang baik. 
Singkatnya, jika Anda meyakini bahwa sosok Prabowo - Sandi adalah solusi bagi kebaikan bangsa dan negeri nan megah ini, maka jalan yang ditempuh untuk meraihnya pun haruslah jalan yang baik. Bukan kebohongan yang nyata nan kerap diproduksi dan disebarluaskan melalui kemudahan bermedia atau tuduhan-tuduhan tak berdasar yang hanya bertumpu pada prasangka buruk.
Mungkin doa para alim yang berbaris rapi dan tawadlu di barisan 02 justru terhalangi oleh keburukan yang Anda sebarkan itu. Siapa tahu.
Ketiga, jika dari awal Anda meyakini bahwa penguasa saat ini adalah penguasa zalim maka yang tepat untuk lakukan adalah memaklumi segala hal yang Anda sebut sebagai kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.
Kenapa? Karena.. apalagi yang Anda harapkan dari orang zalim kecuali ketidakbaikan? 
Jadi singkatnya, maklumi saja. Namun bukan berarti Anda harus berdalil bahwa untuk melawan kezaliman itu harus melakukan kezaliman serupa. "Tipu daya" yang dilakukan bukan berupa berita-berita palsu yang disebarkan untuk membunuh karakter lawan yang jika Anda lawan dengan kebaikan niscaya akan menemui kegagalan.
Nah, itulah beberapa kiat yang dapat dicoba. Jika tak berhasil, coba ulangi lagi dari nomor 1.
Selamat mencoba.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun