Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Jihad yang Harus Dimenangkan, Bukan Untuk Menunggu Lima Tahun ke Depan

23 Mei 2019   07:57 Diperbarui: 30 Mei 2019   21:22 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pendemo berpose di depan polisi | Dok. IDNTimes

Tur Jihad, begitu nama yang disematkan kepada kegiatan yang akan memberangkatkan puluhan orang ke Jakarta beberapa hari lalu. Menengarai kegiatan itu sebagai kedok aksi 22 Mei di Jakarta, kepolisian bertindak cepat. Polda Jawa Timur segera menggagalkan keberangkatan para peserta tur dan menangkap beberapa orang panitianya.

Menarik Simpati dengan Diksi Agamis

Rencananya, para peserta jihad itu akan diberangkatkan dari Surabaya pada 19 Mei sore dan kembali dari Jakarta pada 23 Mei. Kepada polisi, panitia tur jihad menolak tuduhan memfasilitasi keberangkatan simpatisan aksi 22 Mei. Mereka berkilah bahwa acara tersebut hanya untuk memberangkatkan emak-emak yang ingin berwisata ke Jakarta, berbelanja ke pasar Tanah Abang dan beribadah di Masjid Istiqlal.

Polisi bergeming dan panitia diancam dengan pasal pidana penghasutan. Demikian dijelaskan oleh Kapolda Jawa Timur, Irjen Luki Hermawan, di Mapolda Jawa Timur, Senin (20/5/2019) sebagaimana diberitakan oleh Kompas.

Ketua Barisan Kiai Santri Nahdliyin (BKSN), KH. Solachul Aam Wahib Wahab atau Gus Aam memberi tanggapan terhadap istilah tur jihad tersebut. Sebelumnya cucu pendiri NU, KH. Abdulwahab Chasbullah itu menyatakan dukungannya terhadap aksi 22 Mei dan optimis dapat terhimpun 10.000 massa untuk berangkat ke Jakarta dari Jawa Timur.

Dinyatakannya bahwa penggunaan istilah "jihad" seyogyanya dihindari karena memberikan kesan yang menyeramkan. Dia pun mencontohkan istilah lain yang lebih terkesan damai semisal wisata demokrasi, wisata konstitusi atau wisata kedaulatan rakyat.

Korban Penyalahgunaan Tema Agama

Menjumpai pemberitaan itu, saya teringat hal yang pernah disampaikan oleh dai sejuta umat, KH. Zainuddin MZ dalam sebuah cermahnya yang kerap diperdengarkan melalui speaker-speaker masjid.

Beliau  mengatakan bahwa muslim terbodoh sekalipun akan marah jika agamanya dihina. Saat agama dijadikan sebagai sumber argumentasi oleh siapa pun baik mereka yang suci niat maupun yang ditunggangi tendensi politik misalnya, maka militansi akan terhimpun secepat kilat.

Meski tak sama persis, perkataan tersebut sekilas beririsan makna dengan perkataan seorang filsuf muslim Andalusia, Ibnu Rusyd. Dia berkata bahwa untuk menguasai orang bodoh, hendaklah hal batil dibungkus dengan agama.

Entah hal itu yang terjadi saat ini ataukah tidak. Namun dalam kasus yang terjadi kini, sekian banyak orang menyatakan bahwa tema agama adalah sebab yang utama. Dengan kata lain, mereka yang menentang rezim sedang membawa misi melawan penguasa yang menindas Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini.

Keyakinan mereka bahwa pemerintah adalah rejim anti Islam yang diopinikan sebagai -- misalkan : pro komunisme, mendukung LGBT, antek asing (Cina) dan isu-isu sejenis -- secara cepat menyemai semangat anti pemerintah yang cukup besar. Hal itu akan merembet pada ketidakpuasan mereka jika hasil akhir pesta demokrasi bulan lalu tak berpihak pada mereka.

Saya berkata demikian bukan untuk membela rejim Jokowi dan saya pun bukan salah satu pendukung Jokowi dalam Pilpres lalu. Tapi menurut saya, adalah mustahil untuk berpikir bahwa rejim ini adalah rejim anti Islam tanpa muncul perlawanan dari sekian banyak ormas Islam yang hidup di Indonesia.

Silang Sengketa Tak Berujung

Tema-tema di atas akan makin mudah diterima tanpa perdebatan saat dihembuskan oleh orang-orang yang ditahbiskan sebagai orang yang paham agama atau ulama. 

Mereka yang tak memiliki latar belakang keagamaan yang bisa dipertanggungjawabkan pun tak menemukan kesulitan berarti saat berbicara politik di masjid-masjid yang ujung-ujungnya mendiskreditkan pemerintah. 

Di posisi inilah dai-dai politik semacam Gus Nur dan kawan-kawannya bertempat. Setiap kalimat yang terlontar dari lisannya otomatis dijadikan sebagai dalil sahih oleh para pendukungnya meskipun hanya merupakan hasil otak atik gathuk.

Dan begitu hebatnya propaganda yang dihembuskan, membuat para konstituennya merasa tak perlu berpikir panjang jika menjumpai hal-hal yang mereka nilai sebagai kebobrokan lawan. Sebarkan saja tanpa mengecek ulang kebenarannya.

Keyakinan mereka akan zalimnya pemerintah dan aparatur pendukungnya termasuk Polri sepertinya tak akan dapat dihentikan kecuali dengan kata menang. Jadi dalam hal ini, kita pantas ragu bahwa silang sengketa antara pendukung 01 dan 02 akan terhenti oleh keputusan Mahkamah Konstitusi. 

Meski episode yang akan datang tak akan menghadirkan figur yang sama, tapi dalam 4 atau 5 tahun ke depan nampaknya tema yang diangkat akan tetap sama, kezaliman melawan kebenaran atau nasionalisme melawan asing dan aseng.

Sekam dalam damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun