Amirul mu'minin, sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. pernah ditanya mengenai kelompok yang menentangnya dengan kalimat,"Apakah mereka kafir ?".Â
Ali menjawab,"Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran".Â
Pertanyaan berlanjut,"Apakah mereka kaum munafik?". Ali pun menjawab, "Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat Allah".Â
"Lalu siapakah mereka?", Ali kembali ditanya.Â
"Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta dan tuli", jawab Ali.
Riwayat di atas dinukil dari kitab Mafahim Yajib an Tushahhah karya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, seorang ulama terkemuka ahlussunnah wal jamaah Saudi Arabia. Beliau adalah seorang dzuriyyat nabi dari garis keturunan Hasan bin Ali ra.
Sebagaimana kita ketahui, sayyidina Ali bin Abi Thalib dan gubernur Syam, Mu'awiyah bin Abi Sufyan pernah terlibat sebuah perang besar yang kita kenal dengan Perang Shiffin. Peperangan itu berlatar belakang perselisihan Ali dan Mu'awiyah mengenai pembunuhan khalifah sebelummya, sayyidina Utsman bin Affan.
Utsman meninggal saat terjadi huru hara akibat krisis yang terjadi di masa pemerintahannya. Atas kejadian itu, Mu'awiyah sebagai sepupu Utsman meminta pembunuhan itu diusut. Namun apa yang terjadi setelah kaum muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah tidaklah seperti yang diharapkan Mu'awiyah. Ali tentu punya pertimbangan sendiri terkait kemaslahatan umat Islam saat itu. Perselisihan memuncak dan pecahlah perang saudara itu.
Dalam memandang hal itu, kita hendaklah berlepas diri dari menyalahkan satu pihak dan menghujat pihak lain. Hendaklah kita mengangkat tangan dari soal menyoal pertumpahan darah di antara para sahabat.
Dalam menyikapi orang-orang yang menyelisihinya, Ali telah memberi contoh bijak kepada kita semua. Beliau tak lantas menganggap para penentangnya sebagai kaum munafik, zindiq atau kafir. Ali justru membela dengan mengatakan bahwa mereka ialah orang-orang menjauhi sifat-sifat kekufuran dan mereka tak lupa akan mengingat Allah. Fitnahlah yang menyebabkan mereka melakukan penentangan terhadap dirinya.
Lalu mari kita tengok keadaan kita kini.
Banyaknya perbedaan pendapat di antara umat Islam tak jarang melahirkan tuduhan-tuduhan yang tak pantas yang dilayangkan 1 pihak ke pihak lainnya. Sesat, munafik atau bahkan tuduhan kafir. Dan tak jarang, tuduhan itu tak bersandar pada fakta, namun sekedar berasal dari dugaan atau kebencian semata. Dengan kata lain, mereka memberikan vonis berdasarkan hal yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.Â
Kebencian satu pihak ke lain pihak ibarat sebuah komoditas untuk didistribusikan secara luas baik melalui berita bohong maupun propaganda-propaganda lain. Tak jarang, semua itu dilambari dengan satu atau dua ayat atau dilapisi dengan perkataan nabiyullah.Â
Sungguh nista orang yang meminjam sebuah kebenaran untuk menyembunyikan kebusukan, nafsu pribadi dan semangat menyalahkan orang lain. Mereka inilah para penista yang telah kehilangan kemampuan untuk berlapang dada apalagi berbaik sangka.
Semoga negeri kita diamankan dari segala mara bahaya dan keburukan niat para pencari kekuasaan.