Isu khilafah yang santer menerpa Prabowo - Sandi dianggap sebagai isu murahan untuk mengganggu elektabilitas paslon nomor 02. Menurut mereka, elektabilitas pasangan itu kini tengah mengalami peningkatan.
Namun isu itu menyeruak ke permukaan bukan karena tanpa sebab. Publik mengangkat tema itu karena hadirnya elemen Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang secara riil menjadi pendukung Prabowo - Sandi. Dan hal itu sudah diakui sendiri oleh Hashim Djojohadikusumo sebagai elit partai berlambang kepala garuda. Tentu tindakan eks HTI itu wajar adanya karena untuk memperjuangkan agenda politiknya,mereka membutuhkan tunggangan baru.
Sadar dirugikan dengan isu itu, Prabowo menyatakan bahwa dirinya yang mantan prajurit TNI, mustahil akan menyeleweng dari ideologi negara. Menurutnya Pancasila dan UUD 1945 bukan sekedar sebuah mantra melainkan lebih dari itu yakni untuk dijalankan dalam kehidupan bernegara.
Dibombardirnya kubu Prabowo dengan isu pendirian khilafah dianggap sebagai sebuah peringatan bagi lawannya,namun bisa jadi malah bersifat kontraproduktip setidaknya dikarenakan beberapa faktor.
Pertama, kurang pahamnya khalayak ramai terhadap diskursus khilafah akan memperkuat stigma anti Islam yang telah disematkan kepada kubu petahana.
Khilafah, bagi kalangan ilmuwan Islam, adalah sebuah tema yang dapat diperdebatkan secara ilmiah. Kehadiran orang-orang yang paham akan hal itu di media arus utama baik elektronik maupun cetak masihlah minim.
Orang-orang anti khilafah yang tak memiliki khasanah pengetahuan Islam hanya akan memberikan perlawanan yang sifatnya nisbi. Sebutlah seperti Abu Janda dan Denny Siregar yang tak biasa (atau tak bisa) mengajukan dalil naql dari para ulama baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin dalam membantah golongan pro khilafah. Menanggapi mereka,para pendukung HTI dan pro Prabowo akan memberikan tanggapan balik yang mudah diterima logika kebanyakan,misal dengan berkata,"Alangkah naifnya para penentang khilafah yang menolak ajaran Tuhan dengan menggunakan dalil manusia."
Ke dua, terpolarisasinya masyarakat berdasarkan orientasi politik berakibat tersingkirnya orang-orang yang paham masalah namun berada di kubu yang berseberangan.
Politisi-politisi pro Prabowo yang sekuler dan tak memiliki pengetahuan cukup tentang diskursus ini pun akan lebih banyak digunakan dalilnya daripada orang-orang pro Jokowi yang berkalang kitab-kitab klasik dalam berujar tentang khilafah.