Kulihat jam monitor layar ponsel menunjukan pukul 21.05. Terdengar lengkingan peluit dari kondektur yang kemudian dibalas denan dua kali klakson dari masinis. Kereta Berangkat.
Tempat duduk kami double-seat berhadapan. Dia masih disebelahku. Sebelah jendela. Di depan kami ada dua anak kakak-adik. Orang tua mereka berada di seberang tempat duduk kami. Satu keluarga tersebut ternyata baru saja menghadiri hajatan saudara di Jakarta.Â
"Kenapa ndak nginep saja, Pak?"
"Wahh, kepenginya sih begitu Mas, tapi tidak muat menampung kami."
Seketika ingatanku kembali ke beberapa tahu silam. Saat mbakku tinggal disebuah petak kontrakan. Tidak ada ruang tamu, apalgi dapur. Ruangan 3x4 meter.Â
Sewaktu kecil tentu saja aku belum merasakan apa itu rumah sehat lagi layak huni. Saat itu aku hanya tahu kami tidur dilantai bersama Ibu, dan kakak-kakaku, juga adek keponakan yang baru saja melihat dunia nan fana ini. Syukurlah, anak itu tak lama tinggal di sana. Satu dua tahun, Mbakku pidah rumah yang lebih lega.Â
Meski hanya kamar dan ruang tamu. Setidaknya aku saat itu kalau sedang menginap disana bisa tidur dengan leluasa. Hingga akhirnya Mbaku punya rumah sendiri yang lebih nyaman. Lengkap dan pantas dikatakan sebagai layak huni.Â
Ngobrol dengan mereka membuatku jadi banyak tawa. Banyak obrolan yang berujung guyonan.Â
Kulihat keluar dari kaca jendela tidak tampak apapun. Gelap. Hanya sesekali nyala lampu jalan, juga rumah. Kereta terus melaju menembus malam nan senyap.Â
Begitu juga di dalam gerbong berisi tak kurang dari 80 kepala itu juga senyap. Lampu atas kabin masih menyala. Hanya suara dari sambungan kereta yang lama-lama terdengar seperti alunan nada.Â
"Ngantuk?" Tanyaku