Mohon tunggu...
masikun
masikun Mohon Tunggu... Petani - Mahasiswa

Mahasiswa Pertanian

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengapa Netijen Terbelah Soal Penusukan Wiranto?

17 Oktober 2019   00:57 Diperbarui: 17 Oktober 2019   01:13 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya negeri ini memang tidak habis dengan segala hal yang berbau misteri. Pun dengan negeri ini yang bertubi-tubi sedang diuji. Sepertinya memang negeri ini sedang ingin menguji diri. Setelah rentetan peristiwa yang yang begitu rapi terjadi. Kabar terhangat minggu ini adalah peristiwa penusukan Pak Wiranto yang penuh misteri. Lebih tepatnya terjadi polarisasi atau semacam terbelahnya opini publik antara yang mengutuk kejadian tersebut dan ada sebagian yang menganggap kejadian itu hanya setingan belaka. Hingga akhirnya ILC membuka diskusi dengan mengangkat tema "Misteri Penusukan Wiranto" pada tanggal 15 Oktober 2019. Pada kesempatan malam itu hadir sebagai narasumber adalah Mardani Ali Sera (Ketua DPP PKS), Ridwan Saidi (Budayawan), Ust. Teuku Zulkarnain (Penceramah), Sulaiman B. Ponto (Mantan Kepala BAIS TNI), Prof. Salim Said (Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia), Brigjen Dedi Prasetyo (Karopenmas POLRI), Wawan P (Jubir BIN), Ali Mochtar N (Tenaga Ahli Utama KSP), Hermawan Sulistyo (Ka Pusat Kajian Keamanan Nasional UBJ), Ansyaad Mbai (Mantan kepala BNPT),  Kapitra Ampera (Politisi PDIP), Rustika H (Dirjen Komunikasi Indonesia Indicator), Ali Imron (Terpidana terorisme), dan Silvi (tetangga Abu Rara).

Analisa yang dilakukan Rustika mengatakan ada 43% netijen tidak percaya Pak Wiranto tertusuk. Kemudian lebih lanjut Rustika menjelaskan selama tiga hari ada lebih dari 90.000, dari 26.000 akun yang menanyakan sekaligus meyakinkan apa yang terjadi pada Pak Wiranto adalah fakta, ada juga yang meyakinkan apakah ini rekayasa. Rustika dalam membuat penelitian menggunakan platform twitter. Dimana media sosial ini  memiliki karakter yang berbeda dibandingankan dengan media online lainya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rustika melalui twitter adalah 82% yang merespon Wiranto merupakan pengguna milenial. Jadi persepsi mereka terhadap Wiranto juga bergantung dengan apa yang mereka lihat dan mereka dengar. 

Pada saat kejadian 58,4% masyarakat didrive oleh isu yang berkembang di media. Kemudian 15,58% masyarakat memberikan empati, doa, harapan, sekaligus mempertanyakan ini fakta atau rekayasa? Karena adanya ruang kosong alias tidak adanya informasi yang jelas pada hari selanjutnya, isunya berubah dimana yang mempertanyakan berubah menjadi 44,03%. Sementara yang netral sebesar 29,1%. Serta ada sekitar 26,8% mereka meyakinkan bahwa isu Wiranto adalah benar sebagai fakta.

Setidaknya ada tujuh point dasar yang membuat perdebatan. Tujuh point itu antara lain radikalisme, doa kesembuhan (doa kesembuhan), pencopotan dandim, Wiranto dikaitkan dengan politik, Pisau, luka, dan setingan. Hal tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya respon dari dokter yang terkait yang diharapkan memberikan keterangan yang sebenarnya. Semakin tidak adanya informasi yang jelas maka netijen akan bebas berpendapat, termasuk mempertanyakan antara fakta atau bohongan semata? Apalagi selama proses penanganan kasus Wiranto ini pemerintah dianggap tebang pilih ditengah banyak kasus lainya, semisal demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan Wamena. Lebih lagi banyak tokoh politik yang menyampaikan informasi berbeda-beda. Hal ini tentu saja menjadikan tingkat kepercayaan masyarakat juga menurun. Seharunya jika ada satu isu yang menyebar harusnya segera diluruskan dengan informasi yang utuh. 

Mendengarkan pemaparan dari Rustika Herlambang semakin jelas bahwa dunia hari ini memang bergantung pada kecakapan dalam bermedia sosial. Segala macam informasi sekarang dengan cepat bisa menyebar. Sangat disayangkan jika hal ini tidak diiringi dengan kecakapan diri dalam mengolah segala bentuk informasi. Kita semua pasti paham bahwa segala sesuatu yang banyak pengikutnya maka dianggap sebagai kebenaran. Tenti saja ini sangatlah berbahaya. Belum lagi peran buzer yang semakin merajalela. Jadi sudah saatnya kita sebagai pengguna media sosial lebih cermat lagi untuk mengolah informasi.

Jadi mengapa selalu ada polarisasi yang menyebabkan masyrakat selalu terbelah? Informasi!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun