Mohon tunggu...
Mas Id
Mas Id Mohon Tunggu... Penulis - Kretekus Teater

Penulis lakon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gelegar Ledakan Protes Bekas Pejuang

30 Januari 2021   11:31 Diperbarui: 30 Januari 2021   11:35 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: adityalesmana on pinterest

Kakek saya meningal puluhan tahun yang lalu. Tiap mengingatnya, saya selalu teringat uang jajan yang diberikan pada saya. Sepuluh ribu rupiah di tiap awal bulan. Mengingat itu, aku terkenang perkara ini.

Kakek adalah veteran perang. Setelah masa perang selesai, ia putuskan keluar dari dinas ketentaraan dan memulai kerja sebagai penjahit baju. Kata ibu, nenek yang memintanya. Karena Nenek tak mau sering-sering ditinggal lagi. Selain itu, perkaranya adalah ekonomi. Kesejahteraan tentara di masa itu tak seperti sekarang.

Sebagai veteran perang, selain mata kanannya yang rusak lantaran pecahan mortir, Kakek pula mendapat hak uang pensiun setiap bulan. Saya yang baru SD tahu, karena dari uang itu saya mendapat uang saku sepuluh ribu. Tak pernah tidak, malah sempat meningkat lima belas ribu, sebelum akhirnya Kakek jatuh sakit lalu meninggal.

Kemudian hari setelah dewasa, ketika mengungkitnya dengan Ibu mengenai kebaikan Kakek, saya mendapat kisah yang menyakitkan perasaan. Karena di sebalik hak yang ia sisihkan lalu dibagi-bagi kepada cucunya, ternyata ada peristiwa yang tak mengenakkan.

Kakek tidak bercerita langsung pada Ibu; apa sebabnya ia sering minta kepadanya untuk mengambilkan uang gaji di kantor pos. Ibu hanya menyangka Kakek sudah tidak kuat lagi mengayuh sepeda; 5 km pulang-pergi. Di tempat pengambilan, Ibu juga tidak mengalami masalah apa-apa, lancar-lancar saja. Ibu justru heran, ketika Kakek bertanya, "kok kalau kamu yang mengambil bisa cepat?"

Akhirnya Ibu mengerti perkaranya. Kesimpulan ia dapatkan setelah beberapa kali mewakili kakek setiap bulan. Keengganan Kakek adalah lantaran pelayanan yang ia dapatkan. Ia yang tua jadi kecut, keder, bingung, bodoh, dan merasa tak sanggup lagi. Tentu saja Kakek hanyalah salah satu dari sekian manula, di mana usia telah merenggut kegagahan, keberanian, keperwiraan, kegesitan, kecerdasan mereka ketika masih bergerilya.

Seseorang yang berakal bakal lumrahnya memahami kelambanan mereka, ketaksegeraan mereka, ketakgesitan mereka, gampang lupa, dan berbagai ciri ketuaan lainnya. Dan bagi seorang petugas loket pensiun tak cuma harus memahami, tetapi juga wajib menanganinya dengan baik, dan ramah. Itu sudah menjadi tugas mereka dan alasan mereka digaji, yakni melayani publik.

Tetapi yang terjadi di hadapan Ibu waktu itu adalah para petugas tak hanya tidak ramah, tetapi beberapa kali marah-marah lantaran beberapa kakek-kakek mereka anggap tidak jua paham alurnya. "Loh? Ya lumrah, dan maka dari itu negara mempekerjakan mereka untuk mengurusi," batin Ibu saat itu.

Sebenarnya tak harus sampai memperkarakan etika profesi sebagai pelayan publik, perangai mereka sudah pantas untuk dikatakan kurang ajar dari sudut pandang norma dan susila. Yang mereka hadapi orang-orang yang sudah tua, dan tanpa jasa mereka tak bakal ada kemerdekaan yang memberi tempat bagi mereka untuk petentang-petenteng mengurusi dana pensiun.

Kakek tentu juga mengalami peristiwa serupa, hingga akhirnya ia enggan pula menghadapi loket uang pensiun lagi. Mengingat itu, Ibu sudah hampir berdiri marah, ketika dilihatnya salah seorang tua yang disingkang-singkang, di suruh ke sana ke mari oleh petugas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun