Mohon tunggu...
Mas Id
Mas Id Mohon Tunggu... Penulis - Kretekus Teater

Penulis lakon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tangan Kanan Memberi, Tangan Kiri Jangan Lupa Selfie!

27 Januari 2021   15:47 Diperbarui: 28 Januari 2021   11:45 2600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi antrean pembagian santunan (Sumber: kompas.com)

Tetapi kemakluman itu untuk mereka yang membiayai panggungnya dengan hartanya sendiri. Kita mungkin masih bisa memaklumi. Sedang kepada praktik gegap gempita yang memakai uang rakyat, rasanya tidak bisa tidak akal sehat untuk tidak menghujat. Negara mengistilahkannya sebagai bantuan saja sudah tak tepat, apalagi jika sampai diatasnamakan sebuah jabatan sebagai pihak penyumbang atau pemberi bantuan. 

Misal "Bantuan dari Wakil Presiden". Itu hanya misal. Pencetus kebijakan pemberian mungkin, tetapi tetap tidak tepat jika lantas dilabelkan sebagai si penderma. Karena sumber modal bukan dari kas pribadi jabatan. Tetapi dari APBN yang notabene adalah uang rakyat yang dikelola pejabat.

Saya rasa perkara istilah bantuan tersebut, sudah banyak yang membahasnya, sekalipun tetap saja tak mempan untuk memperbaiki keadaan bahkan sekadar perbaikan pengistilahannya.

Tulisan ini tak hendak meramaikan khasanah perdebatan tersebut. Tetapi pada praktik penggegap-gempitaan pemberian bantuannya yang diselenggarakan pemerintah, ternyata masih juga terjadi di masa wabah ini. Padahal di sisi lain anjuran sosial distancing juga dicanangkan.

Saya tidak mengalaminya secara langsung. Karena sekalipun miskin, alhamdulilah kondisi tidak sampai memaksa saya untuk mendaftarkan diri sebagai pengantre bantuan.

Saya hanya selintas tahu bahwa untuk menanggulangi dampak ekonomi akibat wabah, ada pembagian bantuan. Kira saya, husnuzan saya, tentu saja mekanisme pembagian tidak bakal dibuat secara demonstratif dan berduyun-duyun seperti yang sudah-sudah. Karena tentu saja situas pandemi telah diperhitungkan. Saya kira Tuan-Puan juga bakal berpikir seperti itu.

Tapi apa nyatanya, Tuan-Puan? Seorang kawan seniman saya pada suatu siang membawa cerita pengalamannya tahun kemarin ketika menerima bantuan, yang membuat akal sehat geleng kepala dan berkata, "masih saja seperti itu!"

Tuan-Puan silakan tidak percaya, kalau saya pribadi percaya pada cerita ini.

Waktu sampai di lokasi pengambilan bantuan, ia dapati antrean dan kerumunan nyatanya tetap terjadi. Dan ironi sepanjang masa di negeri kita pula kembali mengemuka di masa wabah ini. Yakni petugas pelayanan publik yang digaji oleh rakyat bertingkah menyebalkan kepada para pengantre. Mungkin lantaran bosan, atau justru di situ terletak kesenangan wewenang?

Seakan-akan sedang menghadapi rombongan pengemis yang merusak hari-hari tenteramnya. Lupa mereka, bahwa itu tugas mereka dan tugas itu ada lantaran mereka digaji tiap bulannya. Itu menurut penilaian kawan saya, yang tentu saja subyektif. Yang jelas teman saya secara pribadi mengaku bahwa di situ ia merasa dihinakan dan kapok, tidak akan sudi lagi. Kecuali kalau kepepet, barangkali.

Tapi rasanya memang keterluan, karena sampai linmas atau satpamnya (saya lupa) yang bertugas merasa berhak galak dan membentak-bentak seorang tua. "Maju! Maju sini! Hei kamu! Goblok, cepat diisi kursi ini!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun